Didakwa Karena Kerugian Rp1,5 Juta, Sopir Divonis Setahun Penjara

Didakwa Karena Kerugian Rp1,5 Juta, Sopir Divonis Setahun Penjara
Kuasa hukum terdakwa Ponari Cs.

Riauaktual.com - Salah seorang sopir bernama Ponari, warga Jalan Yos Sudarso, Kelurahan Muara Fajar, Kecamatan Rumbai, Pekanbaru bersama enam temannya harus menerima sanksi hukum. 

Mereka yakni Sukardi alias Keling warga Jalan Sidodadi, Desa Air Kulim, Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis, Waldian Pratama Nainggolan, warga Desa Sukajadi Dusun 7, Kecamatan Dolok Masihul, Kota Tebing Tinggi, Sumatera Utara.

Kemudian, Chandra Sitanggang dan Erikson Estrada keduanya Pasar Minggu, Kecamatan Kandis, Siak, Atu Wanolo Laia alias Atur serta Rodin A Siregar, keduanya warga Jalan Lintas Kandis-Duri Km 75, Kelurahan Telaga Sam-sam, Kecamatan Kandis, Kabupaten Siak.

Ponari divonis setahun penjara oleh majelis hakim yang diketuai Acep Sopian Sauri SH MH dalam sidang virtual yang digelar di Pengadilan Negeri Siak, kemarin siang. 

Menurut hakim, terdakwa yang berprofesi sebagai sopir ini terbukti menggelapkan 160 Kg CPO senilai Rp1.535.200.

Putusan itu lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum. Sebab, sebelumnya, terdakwa Ponari yang didakwa melanggar Pasal 374 tentang penggelapan dalam jabatan ini dituntut selama 2,6 tahun penjara.

Sementara enam terdakwa lainnya yang dijerat Pasal 480 KUHP divonis 10 bulan penjara. Putusan ini lebih ringan, karena enam terdakwa ini sebelumnya dituntut 1,3 tahun oleh jaksa.

Dalam sidang juga terungkap kalau terdakwa di tangkap tim opsnal Polres Siak tanggal 3 September 2020 di KM 75 Kecamatan Kandis, Kabupaten Siak karena menggelapkan sekitar 160 kg CPO yang diangkut oleh Ponari.

Usai sidang, kuasa hukum Ponari dkk, Said Ahmad Kosasi SH MH dari Lembaga Bantuan Hukum Jaringan Amanat Kedaulatan Rakyat (LBH Jankar) mengatakan, akan mengajukan banding. Karena dari fakta persidangan maupun pendapat saksi ahli, perbuatan kliennya merupakan kejahatan Tindak Pidana Ringan (Tipiring) apalagi dalam fakta persidangan tidak terdapat adanya kerugian.

"Kita hormati putusan majelia hakim. Namun, sesuai aturan hukum berlaku, kami mengajukan banding," kata Said Ahmad Kosasi SH MH yang di dampingi Muhammad Amin Daeng SH, Akmal Kharil, SH dan Usman Ahsadinata SH.

Soal putusan, kuasa hukum mempertanyakan penerapan sistem hukum saat ini, karena justru bukannya meringankan biaya negara, melainkan sebaliknya, dimana dalam perkara penggelapan yang dilakukan Ponari dkk yang menyebutkan adanya kerugian senilai satu juta lebih saja negara harus mengeluarkan biaya untuk penahanan 7 orang tersebut diperkirakan hingga mencapai kisaran Rp60 juta.

"Bayangkan, berapa biaya yang dihabiskan negara untuk 7 orang terpidana selama 10 bulan hingga 1 tahun, sementara nilai kejahatannya disebutkan hanya sekitar Rp1,5 juta, itupun dalam fakta persidang tidak ada yang menyebutkan keruagian, inikah tujuan dari sebuah keadilan itu," ujar Said Ahmad Kosasi SH MH.

Sementara Ketua LBH Jankar Ridwan SH MH menilai tuntutan jaksa kabur dan seharusnya klien mereka di vonis bebas, bukan divonis hukuman satu tahun kurungan penjara pada Ponari dan sepuluh bulan kurungan penjara pada enam orang lainnya.

"Harusnya klien kami itu bebas demi hukum, karena tuntutan jaksa itu sejak dari awal sudah kabur dan tidak jelas, tidak ada yang dirugikan, tidak ada yang melapor, tapi jaksa tetap memaksakan ada kerugian satu juta lima ratus, kalau pun itu benar harusnya Tipiring, dan Tipiring harus mengacu pada Perma, tentunya klien kami tidak di tahan," katanya.

Atas putusan itu, Ridwan menduga majelis hakim kurang mentelaah isi perjanjian tertanggal 01 Juni 2020 yang dijadikan alat bukti dan telah diajukan saat persidangan sebelumnya berupa surat kesepakatan pengangkutan yang diajukan kuasa hukum.

"Sangat jelas dalam perjanjian kesepakatan antara jasa pengangkutan dengan pemilik CPO bahwa terhadap kesusutan yang terjadi menjadi tanggung jawab jasa pengangkutan yang selanjutnya dibebankan kepada sopir yang ditugaskan membawa angkutan CPO," kata Ridwan Comeng.

Ia juga menambahkan dimana dalam perjanjian tersebut telah di jelaskan bila terjadi perselisihan para pihak sepakat untuk menyelesaikannya secara musyawarah.

"Dalam pasal 13 dalam perjanjian pengangkutan jasa sangat terang benderang menjelaskan bila mana terjadi perselisihan maka sepakat untuk menyelesaikan terlebih dahulu secara musyawarah mufakat, bila mana 60 hari kerja tidak terjadi mufakat baru lah diselesaikan melalui hukum yang berlaku, bukankah meja hijau ini merupakan upaya hukum terakhir di Republik Indonesia?," tambah Comeng. Jdi

 

#

Ikuti RiauAktual di GoogleNews

Berita Lainnya

Index