Jerman Mulai Dibuat Lumpuh oleh Corona COVID-19

Jerman Mulai Dibuat Lumpuh oleh Corona COVID-19
Pengecekan virus corona melalui sistem drive thru di Jerman

Riuaktual.com - Penyebaran virus corona COVID-19 yang semakin tinggi dari hari ke hari di wilayah Eropa, mulai memengaruhi kehidupan sehari-hari di Jerman dan sekitarnya.

Italia telah mengkarantina seluruh wilayahnya yang dihuni oleh 60 juta penduduk, membatasi mobilisasi orang-orang dan menutup ruang-ruang publik setidaknya hingga 3 April. Acara-acara besar telah dibatalkan, sekolah-sekolah ditutup, dan hanya orang-orang yang memiliki urusan kesehatan dan kepentingan pekerjaan saja yang boleh berpergian.

Beberapa negara Eropa mulai mengikuti kebijakan Italia menutup sebagian besar sekolah, seperti Norwegia, Lithuania, Irlandia, dan Austria.

Jerman yang memiliki jumlah kasus COVID-19 terbanyak setelah Italia, Prancis, dan Spanyol, belum mengambil langkah serupa. Namun, survei global yang dilakukan oleh lembaga riset Ipsos pada akhir Februari menunjukkan bahwa 62% orang Jerman mendukung tindakan karantina bila dianggap perlu.

Belum adanya tindakan karantina karena pemerintah khawatir akan mengganggu aktivitas masyarakat secara signifikan, hingga berimbas pada kekacauan ekonomi dan menyebabkan kepanikan.

Respons lambat

Saat kasus yang dikonfirmasi positif COVID-19 di Spanyol telah mencapai angka 200 pada 3 Maret silam, Kementerian Kesehatan Jerman pun menekankan bahwa ‘"tidak banyak penularan di tingkat nasional." Namun, pada 12 Maret, kasus yang dikonfirmasi naik menjadi hampir 3.000.

Respons pemerintah Jerman yang lambat ini mengingatkan kita pada bagaimana otoritas di Jerman, Inggris, dan Prancis menangani pandemi flu 1918. Pemerintah membatasi informasi karena takut hal itu akan menurunkan semangat para pasukan yang berperang dalam Perang Dunia I.

Seorang profesor riset di Oslo Metropolitan University di Norwegia, Svenn-Erik Mamelund mengatakan kala itu ketika Spanyol untuk pertama kalinya mengumumkan kasus terkait flu, orang-orang menjulukinya sebagai "flu Spanyol."

‘’Awalnya mereka ragu-ragu karena tahu hal itu akan berdampak negatif pada ekonomi, terutama industri pariwisata yang sedang berkembang,’’ ujar Mamelund, yang telah mempelajari dampak sosial epidemi.

Peningkatan depresi dan gangguan mental

Mamelund menunjukkan satu efek samping tak teduga dari epidemi yakni peningkatan depresi dan gangguan mental. Ia mengacu pada studi tentang pandemi flu 1918 yang sangat mengganggu kehidupan sehari-hari manusia, yang terjadi selama berbulan-bulan dan akhirnya menewaskan 50 juta orang di seluruh dunia.

Mamelund mengatakan ‘’penurunan komunikasi masyarakat karena isolasi dan karantina, penutupan pertemuan massal, sekolah dan gereja-gereja, serta rasa sakit dan kesedihan akibat kehilangan orang-orang yang dicintai karena penyakit ini mengarah pada angka jumlah bunuh diri yang lebih tinggi.’’

Meskipun di era modern komunikasi tetap berjalan baik ketika ada karantina, Mamelund mengatakan ada ketidaksetaraan sosial yang besar dalam jumlah infeksi dan angka kematian. Ia menyebutkan bahwa masyarakat miskin tidak memiliki kesempatan untuk bekerja dari rumah seperti orang-orang kaya. Mereka kekurangan akses perawatan kesehatan berkualitas dan tingkat kesehatan mereka lebih buruk secara umum.

‘’Seseorang dengan penyakit jantung di negara dengan tingkat kesejahteraan tinggi (seperti Norwegia) akan memiliki (peluang) selamat lebih tinggi dari virus corona, dibandingkan dengan orang yang memiliki penyakit jantung yang tinggal di negara miskin,’’ jelasnya.

Lebih banyak orang bekerja dari rumah

 

Sebuah survei terbaru oleh konsultan bisnis Strategy di Jerman menunjukkan 38 persen dari 700 orang responden mengatakan mereka ingin bekerja dari rumah. Sepertiganya mengatakan akan menghindari pertemuan, pameran perdagangan, dan acara-acara besar dalam beberapa minggu mendatang.

Menteri Kesehatan Jerman Jens Spahn merekomendasikan untuk menunda atau membatalkan acara-acara besar. Sementara, hampir semua dari 16 negara bagian Jerman telah melarang kegiatan pertemuan yang dihadiri oleh lebih dari 1.000 orang, hingga April mendatang.

‘‘Kita sekarang tahu bahwa saat ini kita berada dalam fase pandemi, di mana kita harus praktis memutus semua kontak sosial, jika kita ingin menjaga jumlah orang yang terinfeksi serendah mungkin,‘‘ ujar Patrick Larscheid, seorang petugas kesehatan masyarakat di Berlin, kepada DW.

Menurut Larscheid, kegiatan publik untuk sementara harus dibatasi sebanyak mungkin demi melindungi populasi yang lebih besar. Ia menambahkan keputusan pemerintah membatalkan acara dengan jumlah peserta lebih dari 1.000 orang, tidak terlalu signifikan. Setiap ruang di mana orang berkumpul dalam kontak dekat harus ditutup.

‘‘Jika tidak, kita tidak akan bisa mengendalikannya lagi,‘‘ sebutnya.

Pertandingan besar dibatalkan

Sementara itu sejumlah pertandingan Bundesliga mendatang akan dihelat tanpa kehadiran penonton. Liga sepak Bola Jerman (DFL) mengatakan keputusan itu dibuat berdasarkan kasus per kasus. Sementara Dewan Kebudayaan Jerman mengatakan sektor budaya dan media sangat terpengaruh oleh adanya pembatalan acara-acara besar. Orang-orang yang sudah membeli tiket menonton di bioskop dan teater meminta pengembalian uang. Meski begitu, Asosiasi Bioskop Film Jerman mengatakan belum mengetahui jumlah kerugian penjualan tiket akibat virus corona.

Otoritas kesehatan Jerman mengatakan pembatasan ini diperlukan untuk memperlambat penyebaran virus. Kanselir Jerman Angela Merkel mengatakan bahwa hampir dua pertiga dari populasi negara itu dapat terinfeksi ketika orang tidak memiliki kekebalan tubuh yang baik.

‘‘Solidaritas kita, akal sehat kita, dan hati kita terhadap sesama manusia sedang diuji, dan saya harap kita bisa melewatinya,‘‘ katanya kepada wartawan pada Rabu (11/03).

Partai pimpinan Merkel, Persatuan Demokrat Kristen (CDU) telah membatalkan konferensi yang seharusnya dijadwalkan pada 25 April dengan agenda dilantiknya suksesor Merkel.

Menjaga tangan tetap bersih dan hindari sentuhan

Untuk saat ini, wabah virus corona tidak berdampak signifikan terhadap kegiatan keagamaan di Jerman. Menurut survei oleh Evangelical Press Service dari dua agama terbesar di Jerman yakni gereja-gereja Protestan regional dan keuskupan Katolik pada awal Maret, tidak ada tanda-tanda penurunan kehadiran jemaat.

Otoritas gereja telah mengimbau penerapan langkah pencegahan, seperti mencuci tangan dan penggunaan disinfektan. Para pakar tentang aturan sopan santun juga menawarkan alternatif jabat tangan tanpa kontak fisik. Anjuran ini diserukan oleh Merkel pada Rabu (11/03) dengan mengatakan beralihlah dari jabat tangan ke senyuman yang ramah.

Operator kereta api Deutsche Bahn melaporkan peningkatan 20% penggunaan sabun dan disinfektan dalam beberapa pekan terakhir.

 

LIHAT ARTIKEL ASLI 

Ikuti RiauAktual di GoogleNews

Berita Lainnya

Index