Memahami Kasus Akbar Bunuh Indria, Cinta Kok Menembak Mati?

Memahami Kasus Akbar Bunuh Indria, Cinta Kok Menembak Mati?

Riauaktual.com - Kasus suami bunuh istri ini memang belum terang benderang. Kabarnya masih ada cinta dari suami meski disiksa istri. Bagaimana menalar perbuatan Mochamad Akbar yang menembak istri tercinta, Indria Kameswari?

Keterangan dari pihak ibunda Akbar, namanya Asiyah, menyebut putranya itu sering mendapat perlakuan kasar dari istrinya. Akbar dikata-katai dengan sebutan binatang seraya dituntut membelikan mobil. Itu menurut rekaman cekcok Akbar-Indria yang diperdengarkan Asiyah.

Berhubung Akbar acapkali mendapat perlakuan kasar dari Indria, Asiyah sebelumnya sudah menasihati Akbar agar menceraikan saja Indria itu. "Tapi Akbar nggak mau saking cintanya," kata Asiyah.

Akhirnya penembakan maut terjadi. Indria diduga tewas oleh terjangan peluru yang dilepaskan pistol Akbar. Menurut keterangan Akbar, ada cekcok yang melatarbelakangi pembunuhan ini. Polisi tidak percaya begitu saja dengan keterangan Akbar.

"Motif ini masih kita dalami, yang bersangkutan bersikeras bahwa ini adalah cekcok biasa dalam keluarga," kata Kepala Bidang Humas Polda Jawa Barat Kombes Yusri Yunus kepada detikcom, Rabu (6/9/2017).

Terlepas dari kasus yang menjadi ranah penegakan hukum itu, pembunuhan terhadap orang yang dicintai memang terasa absurd. Namun secara psikologi, hal itu bisa terjadi. Cinta justru bisa berubah menjadi agresivitas.

"Kepada orang yang sangat dekat, kita menjadi tidak mampu mengontrol agresivitas," kata psikolog keluarga, Roslina Veraula, sebagaimana dikutip dari detikcom, Rabu (6/9/2017).

Memang, pernikahan yang sehat adalah pernikahan yang justru melibatkan konflik di dalamnya. Konflik bukannya untuk dihindari, tapi untuk diselesaikan dengan cara konstruktif. Namun berdasarkan orang-orang yang sering berkonsultasi ke dia, Verauli menilai banyak pasutri yang tak memahami cara menyelesaika konflik.

Konflik tak bisa dilepaskan dari keluhan pasangan. Kebanyakan, pasangan-pasangan yang diluluh-lantakkan konflik gara-gara menitikberatkan isu konflik kepada invidunya, bisa suami atau istri yang ditunjuk. Padahal seharusnya titik berat pembahasan dikonsentrasikan ke problem yang dihadapi bersama.

"Menyampaikan keluhan yang tepat adalah menyampaikan secara rasional," kata Roslina.

Keluhan bisa disampaikan lewat bahasa non-tudingan. Misalnya, 'Sebagai suami, saya merasa terabaikan ...', bukan menuding dan menyalahkan seperti 'Kamu ini istri yang buruk.' Istilahnya, 'I message' harus digunakan ketimbang 'you message'.

Namun dalam situasi penuh tekanan, pasutri tak lagi mampu bertindak rasional. Banyak faktor yang membuat emosi meledak, mulai dari kurangnya waktu istirahat sampai faktor lingkungan yang memicu kekerasan. Luapan emosi kepada orang terdekat lebih mudah terjadi.

"Kasus pembunuhan dan kekerasan memang sering terjadi dilakukan oleh orang-orang dekat sebetulnya, karena ada keterlibatan emosional yang mendalam, namun kemampuan untuk menyelesaikan masalah secara rasional tidak punya," tuturnya.

Perceraian, menurut Roslina, bukanlah solusi atas konflik suami-istri. Yang perlu dilakukan adalah berbicara dengan mengedepankan akal sehat. Bila agresivitas dilepas-liarkan, maka bakal ada yang tersakiti. Reaksi balik bisa saja timbul.

"Individu kalau diserang, dia akan mempertahankan diri. Cara mempertahankan diri bisa jadi berwujud agresif, sama seperti yang terjadi di 'kingdom animalia'," kata Roslina.

 

Sumber : detik.com

Ikuti RiauAktual di GoogleNews

Berita Lainnya

Index