Kisah Penuh Warna Ahmad Ghani Al Ghifari, Dyslexia Bukan Hambatan Tuai Prestasi

Kisah Penuh Warna Ahmad Ghani Al Ghifari, Dyslexia Bukan Hambatan Tuai Prestasi
Ahmad Ghani Al Ghifari

Riauaktual.com - Ahmad Ghani Al Ghifari (13) kini menjalani kesehariannya dengan penuh warna, dia terus mengasah kemampuan dan meningkatkan prestasinya meski kerap mendapat stigma negatif karena dyslexia.  

Anak ketiga dari pasangan Heldrik Evan dan Helvi Yuni itu memang terlahir istimewa, Ghani memiliki IQ superior namun kesulitan dalam kemampuan penguasaan dan pemrosesan bahasa spesisifik. Kondisinya dicurigai mulai muncul saat usia 2 tahun dan baru terdiagnosa dyslexia pada usia 6 tahun.

Berbagai macam terapi telah dijalani Ghani, dan sekarang dia telah duduk di bangku kelas VIII, di salah satu SMP Swasta di Kota Pekanbaru. Begitu banyak perjuangan yang harus dilalui Ghani dalam menjalani hari-harinya dengan kondisi dyslexia. 

Dunia Ghani mulai berwarna saat ia menginjak usia 9 tahun, Ghani berhasil mencatat sederet torehan prestasi pada berbagai kompetisi. 

Tahun 2018 lalu, dia berhasil menjadi juara dalam kejuaraan robotik. Ditahun yang sama, Ghani juga berhasil lolos kualifikasi sebagai best of the best student Se-Provinsi Riau dalam kejuaraan Sempoa yang digelar di Pekanbaru. 

Tak hanya itu, ditahun 2020, Ghani pun kembali mengukir prestasi setelah berhasil memenangkan kejuaraan Robotik & CoDrone yang diselenggarakan secara online.

Prestasi Ghani terus meningkat saat ia menginjak usia belia. Di bidang musik, Ghani berhasil berkiprah dan menjuarai 2 kompetisi bergengsi tingkat nasional. 

Dimana, pada 21 April 2021, Ghani sukses menjadi juara dan menyabet 'Golden Award' dalam ajang kejuaraan piano yang digelar oleh Indonesia National Piano Festival (INPF). Ditahun yang sama ia juga berhasil meraih 'Diamond Award' pada kompetisi Indonesia Online Music Festifal (IOMF) 2021 dan keluar sebagai Finalis Hongkong International Youth Performing Arts Festival 2022 mendatang.

Orang tua Ghani, Helvi Yuni mengisahkan, untuk 'berdamai' dengan dyslexia, Ghani harus berjuang lebih keras dibanding kebanyakan anak lainnya. Sebagai orang tua, ia pun menerapkan banyak pola bimbingan dengan kesabaran yang ekstra. Termasuk dalam mencari sekolah yang dapat memahami anak dengan dyslexia. 
 
"Dulu waktu Ghani kecil, umur dua tahun memang lambat bicara. Awalnya saya curiganya dia memang berbahasa Inggris, karena Ghani dari kecil itu sudah saya berikan tontonan TV berbahasa Inggris. Bahasa pertama (bahasa ibu) Ghani adalah bahasa Inggris. Kata yang dia dapatkan itu adalah kata dalam bahasa Inggris," ujar Helvi, Kamis (2/12/2021) di Pekanbaru. 
 
Helvi menuturkan, dalam perjalanannya hingga sekarang, tak banyak guru yang dapat memahami Ghani dengan kondisi spesialnya. Di bangku sekolah dasar, Ghani kerap terabaikan lantaran sulit berbahasa dengan baik.

"Masalah timbul ketika kami pindah ke Duri, Bengkalis. Ghani yang awalnya sekolah di International School saat di Pekanbaru, kemudian pindah ke sekolah nasional. Sekolah nasional itu tidak ada bahasa Inggris. Hanya bahasa Indonesia. Disaat pindah ke Duri itulah Ghani nge-blank. Dia sulit bahasa Indonesia sehingga merasa asing di kelas. Akhirnya saya berusaha. Waktu dia kelas 1 SD itu, saya mendampingi untuk mentranslate apa yang dibilang guru," tambahnya.

Helvi menuturkan, selama 6 tahun menduduki bangku sekolah dasar, Ghani harus menghadapi beragam tantangan. Tidak hanya di lingkup akademik, tapi juga non akademik. Dalam hal bersosialisasi, Ghani bahkan sering mendapat bully di lingkungan sekolahnya.

"Saat kita balik ke Pekanbaru, Ghani masuk ke salah satu sekolah swasta. Sewaktu kelas 3 dia ditangani oleh seorang guru yang mengerti kondisinya. Ketika kelas 4, berganti guru, di sinilah mulai muncul permasalahan. Guru yang tidak paham dan mengerti tentang Ghani malah kerap memojokkan. Saat itu kemampuan akademisnya tidak ada progres. Ghani dicap brutal. Kondisinya sangat turun saat itu,"tutur Helvi.

Bahkan, Helvi melanjutkan, stigma negatif dan aksi bully yang kerap diterima Ghani pun terus berlanjut selama ia berada di bangku sekolah dasar.

"Ketika menyelesaikan sekolah dasar, waktu itu masing-masing murid boleh menunjukkan prestasi, baik akademik maupun non akademik. Saya pada saat itu menyodorkan prestasi non akademik yang diraih Ghani, tapi pihak sekolah tidak mengakui karena kejuaraan itu diadakan di tempat les robotik. Sementara, untuk prestasi non akademik, yang dicari adalah minimal tingkat provinsi. Padahal, Ghani sendiri saat itu diinklusikan. Apresiasi terhadap anak inklusi saat itu tidak diangkat. Dan ini membuat saya kecewa pada saat itu," ungkapnya 

Dengan berbagai dinamika dan tantangan yang dihadapi, lanjut Helvi, Ghani akhirnya dapat menyelesaikan sekolah dasar dan melanjutkan pendidikannya. Hingga kini, Ghani terus mengasah kemampuannya di berbagai bidang.

"Sebagai orang tua, saya bangga dengan berbagai prestasi yang telah dicapai Ghani saat ini. Tentunya saya berharap Ghani dapat terus meningkatkan prestasinya di segala bidang dan mengejar mimpi-mimpinya," demikian Helvi.

Ikuti RiauAktual di GoogleNews

Berita Lainnya

Index