PAN: Sistem Pemilu Lahirkan Politisi Korup

PAN: Sistem Pemilu Lahirkan Politisi Korup
illustrasi (int)

JAKARTA (RA) - Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyebutkan, sebanyak 69,7% anggota legislatif terindikasi tindak pidana korupsi. Laporan PPATK itu pun diminta harus disikapi secara serius oleh Fraksi dan Parpol.

"Harus disikapi secara serius oleh Fraksi dan Parpol. Harus kita lihat dalam kerangka yang lebih besar, yakni terkait pilihan sistem pemilu kita. Perlu dievaluasi, karena fenomenanya, pada periode 1999-2004 dan 2004-2009, tidak separah periode ini. Karena pada masa tersebut masih diberlakukan nomor urut oleh partai," ujar Sekretaris Fraksi PAN DPR, Teguh Juwarno di Jakarta, Kamis (3/1/2013).

Pada periode 2009-2014 dengan sistem suara terbanyak, lanjut teguh, yang terpilih adalah mereka yang punya duit banyak atau yang populer. Karena realitas masyarakat hari ini, masih bisa dipengaruhi hanya dengan 'satu kilogram gula' atau money politics.

"Karena memang masih besar masyarakat yang miskin sehingga prioritas kebutuhan perut lebih utama. Akibatnya politisi mencari jalan pintas dengan pendekatan pragmatis, membeli suara pemilih. Maka, mereka keluar banyak duit agar bisa terpilih. Masalah berikutnya, mereka sibuk berusaha untuk mengembalikan biaya yang dikeluarkan dengan menjadi calo anggaran atau menjual pasal kepada pihak-pihak yang berwenang terhadap suatu undang-undang," katanya.

Ralitas itu, menurutnya, sungguh memilukan karena DPR hanya dapat recehan dari sebuah ayat di Undang Undang. Karena yang lebih besar keuntungannya adalah pihak-pihak yang paling menikmati Undang Undang tersebut, apakah itu pemodal asing, pengusaha dan eksekutif.

Menurut Teguh, ke depannya perlu serius untuk dipertimbangkan kembali sistem suara terbanyak dalam pemilu legislatif. Perlu juga pembatasan biaya kampanye dan perlu dipertimbangkan kampanye pemilu dibiayai negara.

"Perlu disorot pihak-pihak yang paling diuntungkan oleh sebuah undang-undang, yang notabene sudah disebut-disebut bahwa UU tersebut diperjualbelikan. Terakhir, pendidikan politik yang terus menerus terhadap masyarakat, khususnya untuk tidak mudah tergiur money politics yang ujungnya lebih merugikan mereka dalam jangka panjang," paparnya.

Sebelumnya, riset PPATK pada semester II 2012 dengan fokus utama terkait korupsi dan pencucian uang oleh anggota legislatif, menyebutkan sebanyak 69,7 persen anggota legislatif terindikasi tindak pidana korupsi. Lebih dari 10 persen diantaranya adalah ketua komisi.

Dari 35 modus yang digunakan, modus paling dominan adalah transaksi tunai. Yang terdiri dari penarikan tunai sebanyak 15,59 persen dan setoran tunai sebanyak 12,66 persen. Untuk periode jabatan, periode 2009-2004 terindikasi dugaan tindak pidana korupsi lebih banyak (42,7 persen) dibanding periode 2001-2004 (1,04 persen).

Sumber: Liputan 6

Ikuti RiauAktual di GoogleNews

Berita Lainnya

Index