Riauaktual.com - Anggota DPR Yanuar Prihatin memprediksi berita hoaks bakal meningkat menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Hal itu terlihat tingginya gelombang atau eskalasi politik mulai meninggi di tingkat elit sejak deklarasi capres/cawapres Pilpres 2024. Sebaliknya, saat ini riak di masyarakat biasa saja, tidak saling serang dengan kelompok lain yang berbeda pilihan politik. Bahkan mereka nyaris tidak peduli siapa saja yang menjadi calon capres/cawapres.
"Berbeda dengan Pilpres 2019 lalu, 2019, gejolak lebih kuat di bawah. Namun di tingkat elite, lebih santai," kata Yanuar Prihatin Dialektika Demokrasi bertema 'Bersama Cegah Hoaks dan Kampanye Hitam dalam Pilpres 2024' di Media Center DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (2/11/2023).
Yanuar menambahkan hingga saat ini, masih ada sejumlah manuver yang dilakukan oleh para elit politik. Tingginya gelombang di tingkat elit akan menimbulkan efek lebih besar dan merambat secara luas sehingga berpotensi memunculkan haoks di lahan yang subur. "Gelombang yang tinggi akibat perseteruan antar elite adalah lahan subur untuk hoaks. Lain halnya bila lahannya kering," tegasnya.
Dalam kesempatan sama, Anggota Fraksi Partai Demokrat Herman Khaeron mengatakan apabila semua pasangan calon (paslon) dan pendukungnya mengedepankan kampanye negatif, maka akan sulit mengintegrasikan kembali sebab, polarisasi akan terus berlangsung. "Sepanjang kubu yang puas maupun tidak puas dipisahkan dalam jarak yang terlalu lebar. Masyarakat akan menjadi korban dari penyebaran hoaks," ujarnya.
Herman juga menyinggung dan mengkritisi peran lembaga survei yang ikut 'bermain' dalam kancah politik dan menyampaikan ke publik mengenai hasil survei yang tidak sesuai fakta di lapangan.Terutama bila hasil temuan dan analisisnya bukanlah kebenaran yang obyektif. "Sesuatu yang dibuat seolah-olah merupakan fakta namun bukan yang sebenarnya, lebih berbahaya dibandingkan hoaks yang dibuat oleh orang biasa," katanya.
Senada dengan Herman, Sekjen Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Mahfuz Sidik menjelaskan, lembaga survei bisa menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi, hasil survei dapat digunakan sebagai pemetaan kecenderungan perilaku pemilih. "Tetapi disi lain, lembaga survei juga bisa digunakan untuk melakukan framing opini. Kedua fungsinya itu digunakan di lapangan," ujarnya.
Sedangkan pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia Ujang Komarudin mengatakan, hoaks akan terus muncul. Hal itu karena tidak ada narasi pembanding. "Narasi pembanding adalah ide, gagasan, program yang disampaikan oleh para kandidat. Jika narasi dimunculkan, maka hoaks akan mereda dengan sendirinya," katanya.