Pemindahan Ibu Kota, Pusat Pemerintahan, atau Keduanya?

Pemindahan Ibu Kota, Pusat Pemerintahan, atau Keduanya?
Monumen Nasional (Monas) di Jakarta, Ibu Kota Indonesia.(THINGKSTOCKS/afriadihikmal)

Riauaktual.com - Wacana pemindahan ibu kota dari Jakarta kembali berdengung. Hal yang orang kerap lupa, Jakarta adalah ibu kota sekaligus pusat pemerintahan, bahkan juga pusat bisnis.

Pertanyaannya, dalam konteks wacana pemindahan ibu kota, apa status perpindahan dari Jakarta, pusat pemerintahan atau sekaligus ibu kota?

"Harus dilihat dulu tujuan dari rencana ini apa. Kebutuhan apa yang mau dijawab dari wacana pemindahan tersebut? Kebutuhan publik, kebutuhan jalannya pemerintahan, kebutuhan jalannya negara lebih cepat, atau apa?" kata pakar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar, sebagaimana dikutip dari kompas.com, hari ini.

Dari situ, lanjut Zainal, baru bisa dibahas lebih lanjut apa yang mau dipindah dari Jakarta dan ke mana pemindahannya. Meski demikian, dia berpendapat, Jakarta memang sudah tidak layak menjadi lokasi dari pusat pemerintahan dan layanan publik.

"Macet saja, misalnya, sudah bikin urusan lama, pemerintahan sudah terganggu. Belum yang banjir dan sebagainya," kata Zainal.

Kalau memang kebutuhan yang hendak dijawab adalah soal efektivitas pemerintahan dan layanan publik, menurut dia yang dipindah cukup pusat pemerintahan.

Contoh terdekat sebagai rujukan adalah pemindahan pusat pemerintahan Malaysia dari Kuala Lumpur ke Putrajaya, sementara Ibu Kota Malaysia tetap di Kuala Lumpur. Itu pun, lanjut Zainal, implikasinya besar.

"Kalau terkait pemerintahan, semua dipindah. Semua perangkat termasuk markas TNI," sebut dia.

Demografi, termasuk infrastruktur sosial, menurut dia tak dimungkiri juga bakal terimbas bila semua aparatur negara harus ikut berpindah. Sekolah untuk anak-anak para abdi negara, sebut dia memberikan contoh, jelas harus tersedia di lokasi baru.

Bila Putrajaya dan Kuala Lumpur jaraknya bisa dibilang sepelemparan batu, lanjut Zainal, Indonesia punya pilihan lokasi sampai ke seberang Pulau Jawa.

Berhitung implikasi yang mungkin timbul, Zainal berpandangan, pemindahan pusat pemerintahan tak harus mengambil lokasi yang jauh dari Jakarta.

"Ide (pemindahan pusat pemerintahan ke) Jonggol lebih menarik. Mirip betul dengan (pemindahan pusat pemerintahan Malaysia ke) Putrajaya," ujar Zainal.

Wacana pemindahan pusat pemerintahan ke Jonggol yang disitir Zainal, terakhir kali mencuat pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Istilah "Greater Jakarta" pun dimunculkan saat itu.

Sejak 1900-an

Namun, sejarawan JJ Rizal mengungkapkan, ide tersebut sebenarnya kelanjutan dari wacana megapolitan yang diangkat lagi oleh Soekarno pada era 1960-an.

Konsep tersebut, tutur Rizal, sudah lebih dulu ada pada awal era 1900-an, berdasarkan kajian para penutur bahasa, terkait desentralisasi dan penataan ruang Indonesia.

Sayangnya, kata Rizal, Soekarno efektif memerintah hanya pada kurun 1959-1965, sehingga ide ini belum sempat terwujud.

"Jadi, Ali Sadikin mengantarkan konsep itu ke Sutiyoso, lalu Sutiyoso mengantarkan konsep megapolitan itu ke SBY. Idenya diterima SBY tapi disimplifikasi jadi pemindahan ibu kota. Soal kenapa tak pakai nama megapolitan, mungkin ada sejarah lain," ujar Rizal, lewat pembicaraan telepon, Rabu.

Konsep megapolitan yang diangkat Soekarno, tutur Rizal, mencakup wilayah sampai Purwakarta di Jawa Barat. Komposisinya mencakup kawasan hijau, kawasan biru, kawasan bangunan, lembah, bukit, dan pegunungan.

"Jadi Jakarta punya sabuk hijau, biru, dan abu-abu. Itu bagian dari orientasi baru Soekarno tentang keindonesiaan, membagi beban Jakarta ke daerah sekitar dengan mengambil inspirasi dari ruh keindonesiaan," kata Rizal.

 

 

Sumber : kompas.com

Ikuti RiauAktual di GoogleNews

Berita Lainnya

Index