Riauaktual.com - Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 32 Tahun 2024 tentang Tanggung Jawab Perusahaan Platform Digital untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas atau yang dikenal sebagai Perpres Publisher Rights, disoroti sebagai sebuah kebijakan yang dibuat dengan filosofi yang keliru.
Menurut Wartawan Senior dan Praktisi Pers, Wina Armada Sukardi, Perpres ini tidak hanya keliru dalam filosofi, tetapi juga dalam metodologi penyusunan serta kesimpulan yang dihasilkan. Dikhawatirkan, jika diterapkan, Perpres ini akan membawa dampak negatif dan membawa pers Indonesia menuju kembali ke masa rezim yang menghambat kebebasan, seperti pada era Orde Baru. Bahkan, kebijakan ini dinilai sebagai upaya yang mengaburkan batas antara "code of publication" dengan "code of interprese" yang mirip dengan SIUPP pada masa lampau.
"Saya tegaskan, terbitnya Perpres ini sangat bertentangan dengan Undang-Undang (UU) No 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta serta mengancam kesinambungan kemerdekaan pers," tegas Wina Armada Sukardi saat memaparkan materi diskusi bertajuk ‘’Masa Depan Media Pasca Terbitnya Perpres Publisher Rights’’ Senin (29/4/2024) kemarin di Pekanbaru.
Dalam diskusi tersebut, Wina Armada Sukardi menyoroti beberapa aspek krusial dari Perpres Publisher Rights. Salah satunya adalah kesalahan filosofi yang terlihat dari judulnya yang tidak sesuai dengan substansi isi peraturan.
"Dari judulnya saja, jelas terang benderang udah ngaco banget. Kacau sekali. Masak, kualitas jurnalistik dituntut menjadi tanggung jawab platform digital," tegas Pakar hukum dan etika pers ini sembari menyatakan, Perpres ini juga mengatur perusahaan (code of interprese) atau soal mengatur substansi jurnalisme (code publication). Ini saja sudah tidak jelas. Padahal Perusahaan Platform digital tidak punya wartawan atau sie yang mengatur soal redaksi.
Lebih lanjut, Wina Armada Sukardi mempertanyakan definisi jurnalisme berkualitas yang diatur dalam Perpres tersebut. Menurutnya, kualitas jurnalistik tidak bisa diukur secara mutlak dan tergantung pada karakter dan penilaian masing-masing redaksi.
"Pantaskah dituntut tanggung jawab untuk mendukung jurnalisme yang berkualitas?," tanya Wina.
Terkait dengan tanggung jawab perusahaan platform digital, Wina Armada Sukardi menilai bahwa Perpres ini meleburkan kewajiban korporasi dengan urusan jurnalisme yang seharusnya mandiri. Ia juga mengkritisi ketidakjelasan dalam hal tanggung jawab perusahaan platform digital terhadap kualitas berita dan hak cipta, yang seharusnya menjadi fokus perusahaan pers dan Dewan Pers.
"Mutu jurnalisme itu tidak boleh ada campur tangan darimanapun terhadap pers nasional," katanya.
Dalam penutupannya, Wina Armada Sukardi menyimpulkan bahwa Perpres Publisher Rights lebih banyak merugikan perusahaan pers dan merupakan ancaman bagi kemerdekaan pers di Indonesia. Ia menyerukan agar Perpres ini dicabut atau dipertanyakan melalui judicial review di Mahkamah Agung jika pemerintah tetap bersikukuh untuk melaksanakannya.
#Pendidikan