Ini Bukti Kampar Kiri Hulu Belum 'Merdeka'

Ini Bukti Kampar Kiri Hulu Belum 'Merdeka'
ilustrasi

RIAU (RA)- Desa Tanjung Karang, Kecamatan Kampar Kiri Hulu layak disebut belum 'merdeka' meski jarak dengan ibukota Provinsi Riau - Kota Pekanbaru - tak lebih dari 110 km saja. Tetapi untuk mencapai daerah ini, kadang diperlukan waktu 10 jam. Bahkan, pada waktu-waktu tertentu, semisal musim hujan, kawasan ini tak bisa dilewati sama sekali.

Saat wartawan mengunjungi desa tersebut, hujan baru saja turun yang menyebabkan jalan menjadi licin dan berlumpur. Dari pengakuan Kepala Desa Tanjung Karang Busrianto, desanya merupakan salah satu dari 24 desa terisolir yang ada di Kampar Kiri Hulu, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau.  

Desa Tanjung Karang merupakan salah satu dari 24 desa terisolir yang ada di Kampar Kiri Hulu, Kampar. Setidaknya ada 13 desa yang hanya bisa diakses melalui jalur darat dengan jalan terjal dan berlumpur, serta 11 desa harus melalui jalur sungai.

Setidaknya dari 24 desa, hanya lima desa yang bisa ditempuh dengan mudah, selebihnya butuh waktu lama.

Sejak dibangunnya jalan tersebut tahun 1999, hingga saat ini masyarakat di sana belum juga menikmati akses jalan yang layak seperti desa-desa lainnya. Apalagi harus menikmati listrik atau jaringan telekomunikasi. Namun sejauh ini desa-desa di sana belum mendapat perhatian serius dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kampar maupun Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau untuk membangun.

Penghasilan masyarakat di sana, rata-rata hanya mengandalkan pertanian karet dan buah musiman seperti durian. Karena akses jalan rusak, berimbas dengan harga karet juga mengalami pasang surut. Alhasilperekonomian masyarakat juga menjadi lumpuh.

"Kalau dulu saya kecil belum ada jalan di sini, masyarakat masih menggunakan sungai sebagai akses. Baru tahun 90-an baru ada jalan, dan sekarang jalan ini rusak parah. Kalau hari hujan licin dan masyarakat susah menjual karet. Karena mobil tidak bisa masuk ke sini," ungkap Warga Desa Tanjung Karang, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Kabupaten Kampar, Rapani (65), Selasa (21/10) dengan logat ocu yang kental.

Dia berharap, agar kondisi tersebut bisa segera diperbaiki oleh pemerintah. Rapani mengaku masyarakat sudah bosan dengan keadaan itu. Karena masyarakat tidak bisa berkembang, hidup dengan keadaan serba keterbatasan.

Senada dengan Rapani, Wakil Ketua (Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Tanjung Kasang, M Tamim (67) menyatakan kondisi sama, jalan rusak sejak 4 tahun belakang ini semakin parah. Namun bukan berarti sebelumnya tidak rusak. Jika hujan turun, masyarakat banyak mengeluh, karena tidak bisa menjual karet.

"Karena tidak bisa menjual karet, akibatnya ekonomi masyarakat lemah. Harga karet juga cendrung menurun, hanya Rp4000 per kilo nya, itu disebabkan akses yang jauh dan rusak. Belum lagi saat musim buah yang dibarengi dengan musim hujan, banyak buah mubazir di sini, karena tidak bisa dijual. Kalau bagus jalan, bagus pula perekonomian kami," katanya.

Selain itu, menurut Tamim, masyarakat di Kasang dan desa di sekitarnya juga sangat menyidamkan keberadaan penerangan (listrik). Sebab warga di sana hanya menggunakan penerangan dari tenaga diesel. Hal itu dinilai memberatkan, sebab hanyak tergantung dengan minyak solor yang sulit dicari.

"Informasinya dari PU Provinsi pengerasannya pada November. Sedangkan untuk hotmic kita sudah mengajuka proposal juga di APBD Murni Provinsi Riau. Namun berapa anggarannya kita belum tahu. Mudah-mudahan direspon oleh Pemprov Riau, karena kami sangat membutuhkan jalan yang bagus untuk meningkatkan perekonomian masyarakat Tanjung Karang," ujarnya.

Sementara untuk persediaan air bersih di Desa Tanjung Karang, diakui Busrianto, kalau sebelumnya sudah ada bantuan dari Pam Simas tahun 2012 lalu. Namun karena tidak dikelolah dengan baik, dan tidak berfungsi saat ini.

"Masalah air ini juga menjadi persoalan masyarakat kita. Oleh karena itu, saya berharap program Pam Simar itu dapat kembali dilanjutkan, karena yang ada saat tidak maksimal. Meski desa ini berada di pinggiran sungai, namun itu tidak layak untuk minum dan makan," paparnya.

Tak hanya itu, masih banyak penderitaan masyarakat di sana. Persoalan air bersih juga belum mendapat solusi. Mereka masih memaafkan air untuk kehidupan sehari-hari dari sungai. Bila musim hujan, air sungai keruh dan itu yang digunakan untuk masak, minum dan lain sebagainya.

"Kalau hujan kita minum air keruh, susah mencari air bersih untuk makan. Karena kita di sini masih mengandalkan air dari sungai, tak ada sumur, tidak seperti desa lainnya. Terpaksana kita menggunakan air keruh itu," ujar Tamim.

Belum tuntas masalah jalan, listrik, air. Masyarakat di Kampar Kiri Hulu juga dihadapkan masalah hama tanaman. Banyaknya lahan tak tergarap dengan baik, akibat jalan rusak. Hama di sana meraja rela. Tak sedikit masyarakat di sana ingin berusaha di bidang lain, selain karet  untuk meningkatkan kesetaraan hidup. Namun hama babi tidak bisa dibasmi oleh masyarakat.

"Masyarakat di sini tak bisa menanam sayuran, hama babi banyak. Hutan masih lebat, tidak tergarap karena jalan rusak. Kita mikir-mikir juga ingin bertani kalau hamanya banyak. Kasihan kami di sini, hidup jauh dari keramaian, dan serba ketertinggalan," keluhnya.

Meski demikian, kata Tamim, Desa Tanjung Karang masih belum parah. Masih ada desa lain jauh lebih parah jalannya. Seperti Desa Batu Sasak, Lubuk Bigau dan Tanjung Permai yang merupakan desa terakhir, kira-kira butuh 65 kilometer dari Lipat Kain Kampar.

Parahnya lagi, ternyata di Kampar Kiri Hulu, disebut Tamim, ada 11 desa masih menggunakan transportasi air, lewat sungai mengeluarkan hasil pertanian. Ke 11 desa itu antara lain,  Desa Pakalan Kapas, Ludai, Dua Sepakat, Kota Lama, Batu Sanggan, Muara Bio, Aur kuning, Tanjung Beringin, Tarusan, Subayang Jaya, dan Pangkalan Serai.

Sementara itu, Kepala Desa Tanjung Karang, Busrianto mengakui, memang banyak keluhan warganya soal jalan rusak dan tidak adanya listrik. Namun pihaknya tengah mengusahakan pengadaan listrik, dengan membangun PLTA Mini kafasitas 30.000 watt.

"Untuk listrik saat ini sedang tahap penggandengan investor untuk pembangunan PLTA Mini untuk mencukupi kebutuhan listrik di Tanjung Karang. Insya Allah jika tidak ada halangan pertengahan Januari 2015 masyarakat bisa menikmati listrik siang malam," terangnya.

Begitu juga masalah jalan, kata Busrianto, pihaknya telah mengajukan perbaikan base jalan melalui APBD Perubahan Provinsi Riau sebesar Rp5 miliar, sepanjang 18,5 kilometer. Rencannya perbaikan akan dimulai  dari Desa Muara Slaya-Tanjung Karang-Batu Sasak.

 

Laporan : romg/amn

Ikuti RiauAktual di GoogleNews

Berita Lainnya

Index