Islam dan Pilpres 2014

Islam dan Pilpres 2014
Azyumardi Azra. FOTO: rol

SALAH satu fenomena paling menonjol dalam masa menuju Pilpres 9 Juli 2014 adalah pengunaan semangat, motif dan simbolisme agama—dalam hal ini khususnya Islam. Fenomena ini kelihatannya jauh lebih mengemuka dibandingkan pada Pilpres sebelumnya; 2009 dan 2004.

Meningkatnya penggunaan berbagai hal yang terkait dengan Islam dalam koalisi parpol pendukung Capres-Cawapres sejak deklarasi sampai kampanye, percakapan, rumor atau SMS gelap menjelang Pilpres 2014 mengisyaratkan menguatnya kembali politik ‘sektarian’ yang bertitiktolak dari sentimen agama.

Dalam konteks sentimen agama (Islamic card) untuk kepentingan politik itu, isyu agama juga menyentuh bagian sangat sensitif menyangkut soal aqidah. Ada SMS yang beredar ke mana-mana tentang calon yang diisyukan berasal dari warga keturunan dan karena itu tidak sebenarnya Muslim. Karena namanya isyu atau kampanye hitam, segera jelas bahwa hal tersebut sama sekali tidak benar.

Dalam satu segi penggunaan Islam dalam politik pilpres mengisyaratkan tetap masih kuatnya faktor Islam dalam proses politik demokrasi Indonesia—dalam hal ini Pilpres. Secara demografis, pemeluk Islam yang mencapai 88,7 persen dari penduduk Indonesia sekitar 240 juta merupakan blok besar kekuatan pemilih yang sangat menentukan untuk memenangkan pertarungan.

Karena itu secara teoritis atau mungkin juga sedikit matematis yang kemudian bisa lebih bersifat spekulatif, pasangan Capres-Cawapres yang dipersepsikan lebih Islami bakal mendapat dukungan lebih besar dari kaum Muslim. Sebaliknya, pasangan yang dipersepsikan tidak atau kurang Islami bakal kehilangan dukungan atau hanya akan memperoleh sedikit dukungan.

Politik berdasarkan garis keagamaan ini mengingatkan orang kembali pada teori ‘politik aliran’ yang bersumber dari dikhotomisasi ‘santri’ dan ‘abangan’ yang pernah dipopulerkan antropolog Amerika, Clifford Geertz dalam bukunya yang kini sudah menjadi klasik, Religion of Java (1960). Dikotomi ini dalam praktiknya tidak hanya menyangkut agama—sejauh mana kepatuhan dan ketaatan seorang Muslim menjalankan Islam—tetapi juga berlaku dalam bidang politik.

Teori politik aliran berhujjah, perilaku politik sangat ditentukan sikap keagamaannya. Dalam kerangka itu, kaum santri mendukung partai Islam seperti Masyumi atau Partai NU dalam Pemilu 1955, kemudian PPP pada Pemilu masa Orba, dan akhirnya parpol Islam sejak era Reformasi. Sebaliknya golongan abangan mendukung partai-partai yang tidak berorientasi agama semacam semacam PNI, PSI dan juga PKI.

Tetapi jelas, teori ‘santri-abangan’ dan ‘politik aliran’ bukan tidak mengalami perubahan. Berbarengan dengan peningkatan pendidikan, ekonomi, dan komunikasi dalam masyarakat Indonesia secara keseluruhan sejak paroan kedua dasawarsa 1980an, dikhotomi sosio-relijius dan politik itu juga semakin kabur.

Dalam periode ini juga terjadi peningkatan kedekatan (attachment) kepada Islam seperti terlihat dalam pertumbuhan berbagai kelembagaan baru Islam. Ini bisa dilihat dari pertumbuhan bank Islam atau bank Syariah dan lembaga filantropi Islam serta kian banyaknya jumlah jamaah haji dan umrah atau semakin banyaknya kaum Muslimah yang menggunakan jilbab.

Di tengah perkembangan yang terlihat kian ‘menghijau’ itu, sebaliknya Islam terlihat kian tidak lagi menjadi ‘politik identitas’. Memang ada kalangan Muslim yang tetap berorientasi pada politik Islam semacam ‘negara Islam’; tetapi juga jelas arus utama Islam yang terwakili ormas semacam NU, Muhammadiyah dan banyak lagi ormas seperti itu di seantero Indonesia telah meninggalkan agenda political Islam semacam itu.

Gejala ini terlihat sangat jelas dalam masa pasca-Soeharto, sejak Pemilu demokratis dilaksanakan pada 1999, 2004, 2009, dan 2014. Baik dalam Pileg maupun Pilpres langsung yang dilaksanakan sejak 2004, para pemilih Muslim terlihat terlalu terikat pada sentimen keagamaan ketika memberikan suara.

Meski dalam Pileg 2014 lalu dua parpol berasas Islam (PPP dan PKS) dan dua parpol berasas Pancasila dan berbasis massa Muslim (PKB dan PAN) berhasil meningkatkan perolehan suaranya, mereka gagal membentuk koalisi yang memungkinkan mereka mengusung Capres-Cawapres sendiri. Sebaliknya mereka terpecah: PPP, PKS, PAN plus PBB bergabung ke koalisi pimpinan Partai Gerindra, sedangkan PKB menjadi bagian koalisi pimpinan PDIP.

Dengan demikian, sejauh menyangkut politik, umat Islam Indonesia—seperti terlihat dalam kasus keempat atau kelima parpol tadi, jauh daripada monolitik. Bahkan jelas sangat banyak pemilih Muslim Indonesia yang memberikan suara kepada partai yang tidak secara khusus berorientasi Islam seperti PDIP, Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Demokrat, Partai Nasdem, Partai Hanura dan PKPI.

Mencairnya (fluidity) umat Islam Indonesia itu juga terlihat dalam ormas semacam NU, Muhammadiyah dan ormas-ormas lain. Ada kalangan pimpinan yang secara terbuka atau terselubung mendukung pasangan tertentu. Hal yang sama juga terjadi pada umat tingkat rumput.

Dengan berbagai perkembangan dan dinamika tersebut, tetap menjadi pertanyaan besar tentang efektivitas penggunaan isyu, simbol dan motif Islam dalam Pilpres 9 Juli 2014. Sambil menahan diri, kita tunggu kepastiannya nanti. ***

Oleh: Azyumardi Azra
Sumber: Republika
Editor: Rrm

Ikuti RiauAktual di GoogleNews

Berita Lainnya

Index