JAKARTA (RA) – Indonesia masih menjadi pemasok utama minyak sawit mentah (CPO) dunia dengan kontribusi lebih dari 50 persen. Namun, peluang petani sawit kecil untuk ikut serta dalam pasar global masih terbentur sejumlah hambatan.
Hal itu disampaikan Head of International Relation DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO), Djono Albar Burhan, saat menjadi pembicara dalam Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Hambatan dan Peluang Partisipasi Petani Sawit di Pasar Global” yang digelar Institute for Development of Economics & Finance (INDEF) di Jakarta, Jumat kemarin.
Menurut Djono, tantangan paling krusial yang dihadapi petani adalah legalitas lahan dan disparitas harga tandan buah segar (TBS).
"Harga TBS di Sumatera sudah di atas Rp3.000 per kilogram, sedangkan di Sulawesi masih berkisar Rp2.000-an. Perbedaan ini menimbulkan kecemburuan sosial antarpetani," ungkapnya.
Selain itu, permasalahan klaim kawasan hutan yang tidak berhutan juga masih menjadi hambatan klasik. Djono menilai persoalan ini seharusnya bisa diselesaikan pemerintah melalui regulasi yang lebih jelas.
"Ini sebenarnya peluang, bukan tantangan. Asal pemerintah hadir menyelesaikan masalah, petani bisa lebih kuat menghadapi aturan EUDR di 2027 mendatang," ujarnya.
Djono juga menekankan bahwa tantangan yang ada bisa diubah menjadi peluang. Caranya dengan meningkatkan produktivitas, memperluas akses sertifikasi keberlanjutan seperti ISPO dan RSPO, mendukung penggunaan teknologi murah bagi petani, serta mendorong digitalisasi perkebunan.
"Pemerintah perlu melakukan deregulasi terhadap aturan yang justru membebani petani. Tanpa itu, semua peluang bisa berubah jadi tantangan berkepanjangan," katanya.
Tak hanya itu, Djono mendorong pengembangan UMKM berbasis turunan kelapa sawit agar memberikan nilai tambah dan memperkuat citra sawit Indonesia di mata dunia.
"Karena hampir 50 persen sawit Indonesia dikelola petani, maka kreativitas dan pemikiran petani sangat penting dalam diplomasi sawit global," tutupnya.
