Warga Pondok Kompeh Gusar, Sertifikat Sawit Puluhan Tahun Terancam Diklaim TNTN

Warga Pondok Kompeh Gusar, Sertifikat Sawit Puluhan Tahun Terancam Diklaim TNTN
Perkebunan sawit di Pondok Kompeh

PEKANBARU (RA) – Beberapa bulan terakhir, keresahan menyelimuti Dusun Pondok Kompeh, Desa Lubuk Batu Tinggal, Kecamatan Lubuk Batu Jaya, Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu), Riau. Sejak Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) menyatroni dusun itu, Marlan Tarigan—kepala dusun setempat—bersama warganya hidup dalam ketidakpastian.

Dusun Kompeh berdiri di bibir kawasan yang pada 2004 ditunjuk menjadi Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) tahap pertama. Sejak itu, wilayah mereka masuk dalam objek penertiban kawasan hutan.

Marlan menuturkan, masyarakat sudah tinggal di kawasan tersebut sejak 1957. Mereka bertani, lalu sempat bekerja sama dengan perusahaan pelat merah Inhutani IV, penerus HPH PT Dwi Martha. Dalam perjalanannya, warga kemudian menanam kelapa sawit secara swadaya hingga menjadi tumpuan hidup.

"Sekarang masyarakat jadi ketar-ketir, apalagi ada sekitar tiga ribu hektar kebun sawit milik petani yang sudah dipasangi plang Satgas PKH," ujarnya saat ditemui, Rabu (10/9), di sebuah warung kopi di Desa Pontian Mekar.

Marlan menjelaskan, lahan sawit itu tergabung dalam dua koperasi: Mekar Sakti dan Lubuk Indah, masing-masing beranggotakan 500 orang. Kebun-kebun tersebut bahkan sudah memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM) sejak 1998–1999, atau sekitar 26 tahun lalu.

"Itu artinya kebun ini sudah lama jadi sumber hidup masyarakat. Sekarang 80 persen dikelola oleh generasi kedua," terang Marlan.

Selama puluhan tahun, tidak pernah ada konflik dengan manusia maupun satwa. Namun sejak terbitnya Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025, lahan itu tiba-tiba diklaim masuk TNTN dan disebut akan dijadikan kawasan konservasi.

"Kalau diambil sepihak dengan alasan TNTN, jelas tidak adil. Kami sudah ada di sini jauh sebelum TNTN lahir," kata Marlan.

Kegelisahan makin memuncak ketika Menteri ATR/BPN, Nusron Wahid, menyebut lebih dari 1.000 persil lahan sawit masyarakat di Lubuk Batu Tinggal dan Pontian Mekar telah diserahkan sukarela kepada negara. Marlan menepis pernyataan itu.

"Sampai sekarang belum ada satu pun warga menyerahkan sertifikat atau kebun. Semua masih ada di tangan petani. Itu penghidupan kami. Mana mungkin diserahkan," tegasnya.

Ia mengaku ada warga yang sempat dibujuk, tetapi menolak. "Kami tidak melawan pemerintah. Kami hanya ingin logis. Sertifikat sudah ada jauh sebelum TNTN. Masa diminta diserahkan sukarela begitu saja?" tambahnya.

Soal wacana relokasi, Marlan menyebut masyarakat butuh kepastian yang jelas. "Dimana lokasinya? Nilai ekonominya setara atau tidak? Jangan sampai kami memulai dari nol lagi. Jaminan ke depan juga harus ada, jangan sampai lokasi baru malah bermasalah," katanya.

Meski dihantui keresahan, kebun sawit masyarakat masih beroperasi. Produksi rata-rata dari koperasi mencapai 1.500 ton per bulan dan tetap diterima pabrik kelapa sawit. Namun semangat petani mulai menurun.

"Sebelum masalah ini muncul, rata-rata petani bisa dapat Rp5 juta per bulan. Sekarang kami cemas setiap hari. Masa depan anak-anak kami dipertaruhkan. Kenapa lahan bersertifikat mau diambil begitu saja?" ungkap Marlan.

Selain soal lahan, kehadiran Satgas PKH membuat harapan warga mendapatkan listrik PLN kian jauh. Padahal pengajuan sudah dilakukan dua kali.

"Dusun kami dari dulu berdiri dengan swakelola. Jalan, sekolah dasar, masjid, semua dibangun masyarakat sendiri. Bantuan pemerintah tak pernah sampai. Tapi kalau musim pemilu, dusun kami selalu dipakai sebagai TPS. Dokumen kependudukan kami juga sah. Aneh kan?" kata Marlan geram.

Ketua Umum Wartawan Sawit Nusantara (WSN), Abdul Aziz, meminta pemerintah tidak semena-mena. Menurutnya, umur SHM masyarakat lebih tua dibanding SK penunjukan TNTN.

"Kalau lahan itu dipaksa diambil, justru TNTN yang merambah kebun masyarakat. Lagi pula, sertifikat lahir di era SK TGHK 1986 yang statusnya masih penunjukan. Penataan batas pun tidak pernah dilakukan. Kalau belum ditatabatas, belum punya kepastian hukum," tegas Aziz.

Ia juga mengingatkan Menteri ATR/BPN agar hati-hati membuat pernyataan. "Sertifikat lebih dulu ada daripada TNTN. Logika hukum dari mana masyarakat harus mengalah? Kalau ada kepentingan lain, jangan korbankan rakyat," pungkasnya.

Follow WhatsApp Channel RiauAktual untuk update berita terbaru setiap hari
Ikuti RiauAktual di GoogleNews

Berita Lainnya

Index