RIAUAKTUAL (RA) - Pandemi Covid-19 tidak hanya menimbulkan krisis kesehatan global, tapi juga membuka pintu lebar-lebar bagi sesuatu yang jauh lebih sulit dikendalikan: teori konspirasi.
Saat virus menyebar, begitu pula narasi-narasi alternatif yang menyertainya. Mulai dari dugaan bahwa virus itu buatan laboratorium di Wuhan, sampai anggapan bahwa vaksin mengandung chip untuk mengendalikan populasi. Satu sampai dua dekade lalu, teori semacam itu hanya berseliweran di forum gelap atau obrolan satire. Kini, ia muncul di grup keluarga, mimbar keagamaan, bahkan digunakan untuk merengkuh dukungan politik.
Di balik semua itu, ada konsekuensi yang tidak main-main. Penelitian yang diterbitkan di Science Direct menunjukkan bahwa kepercayaan terhadap teori konspirasi berkorelasi dengan penolakan terhadap vaksin, ketidakpercayaan terhadap institusi publik, dan kemunduran rasa tanggung jawab kolektif.
Konspirasi tak hanya merusak logika, tapi juga memengaruhi cara orang berperilaku sebagai warga negara. Orang yang percaya bahwa pandemi adalah rekayasa, misalnya, cenderung abai terhadap protokol kesehatan atau menolak program-program penanggulangan.
Dalam konteks yang lebih luas, teori konspirasi merusak sesuatu yang esensial dalam masyarakat demokratis: kepercayaan. Ia menciptakan ilusi bahwa segala sesuatu adalah kebohongan, bahwa elite global menyembunyikan "kebenaran", dan bahwa satu-satunya jalan keluar adalah mencurigai semua pihak. Di titik inilah konspirasi berhenti jadi sekadar "pendapat alternatif", dan berubah menjadi senjata retoris yang merusak akal sehat.
Maka, pandemi bukan hanya krisis medis. Ia adalah masa keemasan bagi narasi-narasi liar yang selama ini hidup di pinggiran, dan kini mendapat panggung utama. Yang paling berbahaya bukanlah seberapa absurd isi konspirasinya, tapi seberapa banyak orang yang percaya dan bertindak berdasar keyakinan itu.
Kenapa Berdebat dengan Penganut Konspirasi Hampir Selalu Gagal?
Ketika mendengar seseorang mengaku bahwa dirinya percaya dengan teori konspirasi, acap kali reaksi yang kita keluarkan adalah “yang benar saja kamu”. Reaksi semacam ini wajar karena sebagian besar dari kita dibesarkan dengan kepercayaan bahwa fakta cukup untuk mengalahkan omong kosong. Tapi nyatanya, semakin keras kita memukul dengan data, semakin kuat mereka bertahan dengan keyakinannya.
Psikolog Daniel Jolley menyebut ini sebagai bentuk perlawanan psikologis yang mendalam. Banyak dari mereka yang percaya teori konspirasi bukan karena bodoh, tapi karena merasa tersisih, cemas, atau tidak punya kontrol atas hidup mereka. Konspirasi menawarkan ketertiban di tengah kekacauan, narasi alternatif ketika institusi gagal menjelaskan realitas. Ketika orang seperti ini dihadapkan dengan bantahan langsung atau hinaan, mereka tak merasa tercerahkan. Mereka merasa diserang.
Itulah kenapa berdebat sering kali justru memperburuk keadaan. Bukannya membuka jalan keluar, diskusi malah berubah menjadi benteng defensif. Yang satu mengutip jurnal ilmiah, yang lain menjawab dengan “itu semua sudah direkayasa.” Hasil akhirnya bukan kompromi, tapi friksi permanen.
Lebih parah lagi, kepercayaan terhadap satu teori sering beranak pinak menjadi keyakinan terhadap teori lain. Ini bukan sekadar masalah argumen, tapi soal cara melihat dunia secara menyeluruh. Ketika seseorang percaya bahwa semua otoritas sedang menyembunyikan sesuatu, maka semua fakta yang bertentangan akan otomatis dianggap sebagai bagian dari konspirasi.
Situasi semacam ini membuat banyak orang memilih diam. Takut merusak hubungan keluarga. Takut dianggap sok pintar. Takut energi terkuras hanya untuk dinding yang tak akan retak. Lama-lama, kita berhenti mencoba. Dan ketika tak ada yang mengoreksi, teori-teori itu tumbuh liar tanpa lawan yang berarti.
Di titik ini, yang kita hadapi bukan lagi kurangnya pengetahuan, tapi krisis kepercayaan. Dan untuk itu, debat biasa tak lagi cukup.
Debat Lebih Sehat dengan… Mesin?
Bayangkan platform diskusi teori konspirasi yang tidak berlangsung di forum penuh teriakan. Itulah yang dilakukan sekelompok peneliti dari Amerika Serikat, Inggris, dan Irlandia dalam riset yang dipublikasikan di jurnal Science pada September 2024. Mereka tak lagi mencoba mematahkan keyakinan orang dengan debat sengit, melainkan memfasilitasi percakapan antara manusia dan mesin—lebih tepatnya, chatbot berbasis GPT-4 Turbo.
Peneliti merekrut lebih dari dua ribu peserta yang mengaku memercayai setidaknya satu teori konspirasi, mulai dari antivaksin, 9/11, hingga dugaan bahwa virus Covid-19 adalah senjata biologis. Setiap peserta diminta menuliskan keyakinan mereka secara spesifik, serta alasan di balik kepercayaan itu. Setelah itu, sebagian dari mereka diajak berdiskusi selama sekitar delapan menit dengan chatbot, dalam sesi yang terdiri dari tiga putaran tanya-jawab. Sisanya dijadikan kelompok kontrol dan hanya diajak bicara soal topik-topik netral, tanpa sentuhan isu konspiratif.
Yang menarik, chatbot tersebut tidak menyerang, tidak menggurui, dan tidak menggunakan nada sarkastik. Ia hanya merespons keyakinan pengguna dengan data, kutipan jurnal, serta argumen rasional yang dibungkus dalam bahasa yang sopan dan netral. Bahkan, sebelum menyodorkan bantahan, chatbot ini lebih dulu bertanya: “Mengapa Anda mempercayai ini?” Sebuah pendekatan yang jarang dilakukan dalam debat manusia sehari-hari, tapi justru membuka ruang refleksi sejak awal.
Hasilnya mencengangkan. Tingkat keyakinan terhadap teori konspirasi turun hingga 20 persen dibanding kelompok kontrol. Lebih dari seperempat peserta bahkan bergeser dari posisi “percaya” ke “ragu”, sebuah transisi yang dalam studi semacam ini terbilang langka. Dan yang paling mengesankan, efek tersebut tidak langsung menguap. Sepuluh hari setelah interaksi, penurunan masih tercatat.
Dua bulan kemudian, keyakinan terhadap teori konspirasi belum sepenuhnya pulih. Bahkan, dalam beberapa kasus, keraguan terhadap satu teori ikut menyebar ke teori lainnya, seolah percakapan dengan chatbot itu mengguncang worldview mereka secara keseluruhan.
Penelitian ini juga menunjukkan bahwa chatbot bisa menjaga akurasi informasi dengan sangat tinggi. Dari ratusan percakapan yang dianalisis manual oleh tim riset, chatbot menghasilkan lebih dari 99 persen pernyataan yang benar secara faktual—dan tak satu pun yang terdeteksi sebagai informasi palsu. Itu artinya, di tengah kekhawatiran soal halusinasi AI, sistem ini berhasil membuktikan bahwa mesin bisa bicara dengan tenang tanpa menyebarkan kekeliruan.
Meski begitu, para peneliti tetap memberi catatan penting. Metode ini efektif bukan karena AI membawa otoritas baru, tapi karena ia mampu menciptakan suasana diskusi yang jarang ditemukan dalam interaksi manusia. Tidak ada rasa malu, tidak ada interupsi, dan tidak ada ego yang merasa diserang. Justru karena AI tidak punya rasa marah atau lelah, ia bisa menjadi lawan bicara yang sabar. Dan itulah mungkin yang dibutuhkan ketika berhadapan dengan keyakinan yang sangat mengakar.
Tentu saja, tidak semua orang akan langsung berubah pikiran setelah ngobrol dengan chatbot. Tapi riset ini menunjukkan satu kemungkinan yang patut dicoba: bahwa lubang kelinci teori konspirasi mungkin memang punya jalan keluar, tidak lewat adu argumen yang keras, melainkan lewat percakapan yang penuh empati.
Dialog yang Terlalu Singkat
Saya mencoba sendiri apa yang dijelaskan para peneliti itu., lewat sebuah chatbot bernama DebunkBot, yang tersedia secara terbuka untuk publik.
Prosesnya sederhana. Pertama-tama, saya diminta untuk menuliskan satu teori konspirasi yang saya percayai. Lalu, sistem bertanya kenapa saya memercayainya. Pertanyaan ini memaksa saya untuk memikirkan ulang narasi yang selama ini mungkin hanya saya dengar sepintas. Setelah itu, sistem mengonfirmasi apakah saya benar-benar percaya atau hanya sedang mengujinya secara iseng. Lalu, percakapan pun dimulai.
DebunkBot merespons keyakinan saya dengan tenang. Ia tidak menyalahkan atau mengolok-olok. Ia hanya menawarkan logika, menyodorkan data, dan mengutip sumber-sumber kredibel yang relevan dengan pernyataan saya. Dan seperti yang dijabarkan dalam penelitian tadi, nada bicara DebunkBot tidak pernah berubah jadi menggurui. Semua kalimat ditulis seolah ia sedang berdiskusi, bukan menguliti ketidaktahuan sang pengguna.
Namun sayangnya, percakapan hanya berlangsung tiga putaran. Terlalu pendek. Tidak cukup waktu untuk membongkar keyakinan yang mungkin sudah saya simpan selama bertahun-tahun.
Mungkin kalau saya terus berbicara dengannya selama sepuluh putaran, dua puluh, atau seharian penuh, akan ada celah-celah yang mulai retak. Tapi di versi yang saya coba, celah itu belum sempat terbentuk. Setelah tiga kali bertanya dan menjawab, sistem meminta saya untuk mengukur ulang tingkat kepercayaan saya terhadap teori tersebut, lalu menutup sesi dengan kuesioner usia, lokasi, dan latar pendidikan.
Saya tidak berubah pikiran. Tapi saya tidak bisa bilang itu karena AI-nya buruk. Saya paham bahwa DebunkBot hanyalah sebuah sarana uji dan dialog terbuka bisa saya lakukan lewat chatbot lain seperti ChatGPT karena DebunkBot sendiri memang dibangun dengan arsitektur GPT.
Tentu, itu semua akan percuma jika AI-nya berhalusinasi. Sejauh yang saya lihat di DebunkBot, tidak ada satu pun pernyataan yang terasa ngawur atau asal bunyi. Namun, entah apa yang terjadi ketika perdebatan berlangsung lama. Bisa jadi, semakin lama diajak bicara, halusinasi bakal mulai muncul karena biasanya demikianlah yang terjadi dalam pengalaman saya bercakap-cakap dengan ChatGPT atau Gemini.
Bisa Jadi Berbahaya di Tangan yang Salah
Jika sebuah chatbot bisa membuat seseorang mulai meragukan keyakinannya hanya lewat tiga kali percakapan, bayangkan apa yang bisa terjadi jika alat serupa digunakan secara sistematis oleh pihak yang tidak sekadar ingin meluruskan teori, tapi menanamkan narasi tertentu.
Peneliti dari studi yang sama menyadari ini. Mereka menyebut teknologi semacam ini sebagai "pedang bermata dua". Karena pada dasarnya, kemampuan AI bukan hanya membongkar teori konspirasi, tapi juga menyusun ulang cara seseorang memahami dunia. Hari ini ia digunakan untuk mengajak orang keluar dari lubang kelinci, tapi besok ia bisa saja dipakai untuk mendorong mereka masuk ke lubang lain sesuai agenda politik tertentu.
Itulah mengapa percakapan tentang AI dan kepercayaan publik tidak boleh berhenti di sisi teknologinya saja. Kita tidak sedang bicara soal chatbot yang pintar menjawab, tapi soal struktur persuasi baru yang bisa dipakai oleh siapa saja: negara, korporasi, partai, bahkan individu dengan cukup uang dan motif.
Yang kita butuhkan bukan hanya AI yang etis, tapi ekosistem yang transparan. Algoritma boleh canggih, tapi siapa yang memegangnya harus bisa dipertanggungjawabkan. Kalau tidak, teknologi yang hari ini kita puji sebagai alat penyelamat bisa berubah menjadi mesin pembentuk realitas dengan versi kebenaran para pemegang kuasa.