KUA Pelayan Semua Agama, Kenapa Gagal Paham?

KUA Pelayan Semua Agama, Kenapa Gagal Paham?
Prof. Dr. H. Asaari, M.Ag.

Kegagalan memahami pesan di balik wacana KUA sebagai sentral keagamaan lintas agama menimbulkan kegaduhan tak berarti, jika bukan tak penting. Kegagalan itu barangkali bersumber dari miskonsepsi tentang fungsi dan peran Kementerian Agama sebagai pelayan semua agama. 

Mengatakan wacana ini ahistoris barangkali juga bentuk lain miskonsepsi itu. Karenanya, fungsi dan peran itu sejak dari ranah birokrasi perlu direalisasikan sehingga tidak ada kesan Kementerian Agama hanya milik mayoritas, atau dimonopoli oleh Islam. Pesan ini secara berulang dan konsisten ingin disampaikan ke publik. Bagaimana mungkin cita-cita moderasi, egaliter, dan keadilan bisa terwujud jika di sektor birokrasi masih menunjukkan sebaliknya. Sesederhana itu pesan yang ingin disampaikan Kemenag, jika gagal paham apa boleh buat.

Satu hal yang ingin ditegaskan Kementerian Agama: perlindungan pada kelompok minoritas. Responsif terhadap kelompok minoritas ini perlu secara tegas diwujudkan dalam kebijakan. Keadilan bagi minoritas  tidak cukup hanya sebatas tekad, tanpa adanya regulasi yang kuat.

Faktanya di lapangan masih banyak masyarakat nonmuslim yang kesulitan mengurus Akta Nikah, yang kemudian berdampak pada Akta Kelahiran Anak, dan seterusnya. Sebab pemerintah hanya mengesahkan pernikahan/pemberkatan warga nonmuslim, apabila instansi terkait telah mengeluarkan Akta Nikah. 

Tentu saja hal ini tidak berlaku bagi warga muslim yang cukup membawa Buku Nikah dari KUA Kecamatan. Pengkastaan dan aroma diskriminasi ini yang hendak dipangkas oleh Kementerian Agama. Sebuah kontradiksi bukan jika Kemenag sebagai komando moderasi tapi abai terhadap diskriminasi akut di masyarakat? Sekali lagi, sesederhana itu tujuan Kemenag, kalau gagal paham apa boleh buat.

Pengabaian terhadap hak minoritas dalam konteks ini akhirnya menimbulkan persoalan lebih kompleks. Misalnya, pemalsuan data pernikahan dan adanya jasa makelar yang mematok harga tinggi untuk urusan ini. Problem ini jika terus diabaikan justru merusak citra birokrasi pemerintah. 

Kehilangan kepercayaan publik ada di depan mata. Kelompok minoritas yang mengalami ketidakadilan jangankan bersuara, mereka malah mendapatkan penghakiman ganda. Dengan demikian, pengabaian hak minoritas akhirnya melanggengkan ragam rupa keculasan birokratis.

Sudah sepantasnya mayoritas menunjukkan 'religious virtue' setelah sekian lama ketimpangan ini dirasakan kelompok minoritas. Teriakan protes mereka jauh lebih lirih dari tekanan psikologis yang mereka rasakan. Mayoritas lebih peka, hendaknya. 

Kementerian Agama sebagai lembaga profesional pemerintah merasakan betul suasana batin minoritas itu. Hanya saja mereka yang tidak mampu membedakan urusan agama dalam konteks iman dan fungsi publik sering gagal paham, lalu terjebak dalam kedengkian sistemik. Naudzubillah.

 

 

Penulis: Prof. Dr. H. Asaari, M.Ag.

Ikuti RiauAktual di GoogleNews

Berita Lainnya

Index