Pemerintah Daerah Harus Berperan Meminimalisir Masalah Prostitusi

Pemerintah Daerah Harus Berperan Meminimalisir Masalah Prostitusi
ilustrasi

NASIONAL (RA)- Wakil Ketua Komite III DPD RI, senator asal Daerah Khusus Ibukota Jakarta membenarkan, payung hukum tentang prostitusi sedang digodok dengan merevisi  Undang Undang ( UU)  yang sudah ada,  sehingga masalah prostitusi  yang kini sudah  meresahkan masyarakat   bisa dikurangi, terutama menyangkut  keterlibatan  generasi muda.

 
"Kalau menghentikan prostitusi sama sekali merupakan hal yang mustahil. Yang kita bisa lakukan adalah mengurangi atau meminimalisir" kata Fahira Idris kepada wartawan, Rabu (27/5) di gedung DPD RI, Senayan, Jakarta, terkait maraknya masalah prostitusi akhir-akhir ini, termasuk dikalangan artis.
 
Fahira Idris mengakui, sebenarnya, sudah banyak Undang-Undang (UU) yang menyinggung tentang masalah prostitusi. Diantaranya,  UU perdagangan manusia, UU diskriminasi, kekerasan terhadap perempuan. Tetapi, disamping penerapannya belum tegas, UU yang ada belum  berdampak efek jera terhadap lelaki hidung belang  sebagai pengguna, mucikari maupun pelaku.
 
Karena itu, tambahnya, sambil menunggu proses  panjang penggarapan RUU , Pemerintah Daerah di seluruh Indonesia sudah perlu mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda)  yang mengatur tentang prostitusi.  Dengan  demikian, masalah prostitusi, terutama yang melibatkan anggota masyarakat usia dini bisa ditekan jumlahnya.
 
Disamping itu, Komisi Penyiaran Indonesia ( KPI) juga harus aktif, untuk mengevaluasi media sosial, terutama on line , yang belakangan ini  terlalu bebas menyebarluaskan masalah prostitusi.  Dilain sisi, masyarakat juga diminta ikut bertanggung jawab, untuk menanggulangi masalah ini, dengan cara menyampaikan laporan jika ditemukan praktek prostitusi di daerah masing-masing.
 
Menurut Fahira,  KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) ternyata tidak membuat efek jera karena sanksi hukumnya ringan. Untuk mucikari misalnya hanya dihukum tiga bulan dan yang lainnya tidak jelas.
 
"Seharusnya seperti Inggris, Australia, Perancis , Amerika Serikat dan negara maju lainnya yang mempunyai aturan dan sanksi hukum yang tegas,"  kata  Fahira Idris seraya menyebutkan,  perempuan yang menjadi pelacur memang  mayoritas akibat kemiskinan dan pendidikan yang rendah.
 
Anak-anak baru gede (ABG) di kota-kota besar misalnya,  yang lingkungan sosialnya penuh kehidupan yang gemerlap, sebagian mencari  jalan pintas  menjadi korban atau mengorbankan diri untuk melacur untuk mendapatkan  uang  yang banyak sehingga  bisa hidup mewah, hedonis dan sebagai gaya hidup, life style, serta untuk memenuhi kebutuhan hidup lainnya. 
 
Karena itu kata Fahira, lokalisasi prostitusi juga bukan sebagai solusi efektif, dibanding Perda seperti dilakukan oleh Walikota Bandung, Jawa Barat, Ridwan Kamil, dan Nangroe Aceh Darussalam.
 
Sedangkan di Dapilnya sendiri di Jakarta, Fahira Idris memberi hadiah (reward)  sebesar  Rp 100 ribu bagi yang menemukan praktek pelacuran dan dilaporkan kepada aparat kepolisian."Di Mampang, Jakarta Selatan saja terdapat 75 titik rawan prostitusi," ujarnya.
 
Wakil Rektor Universitas Ibnu Kaldun Jakarta, Musni Umar juga mengakui bahwa faktor  kemiskinan dan pendidikan yang rendah mendorong  sebagian besar wanita  terjerumus kepada prostitusi.  "Dari hasil penelitian dan kajian yang kami lakukan, di ibukota Jakarta dan Jawa Barat,  ternyata kimiskinan dan pendidikan yang rendah menjadikan  sebagian besar wanita  muda  terjerumus kepada prostitusi," ujar Musni Umar seraya menambahkan  kondisi  ini semakin terpuruk dengan larangan Menakertrans Hanif Dakhiri yang melakukan moratorium pengiriman TKI ke luar negeri. 
 
Menurutnya,  larangan pengiriman TKI tanpa diikuti dengan solusi membuka lapangan kerja, termasuk   penutupan lokalisasi Dolly di Surabaya, dan Kramat Tunggak Jakarta,  membuat  prostitusi semakin  menyebar ke mana-mana. Kecuali,  prostitusi artis  yang cenderung  hanya untuk memenuhi keserakahan mereka untuk memenuhi gaya hidup mewah dan gemerlap. 
 
Musni juga memprihatinkan, karena negara ini tidak pernah fokus menyelesaikan suatu masalah, sehingga tidak terselesaikan sebagaimana harapan masyarakat.  Dia menilai, ada kesalahan  berpikir dalam membangun, seperti penyeragaman nilai pendidikan melalui Ujian Nasional (UN), tetapi moral,etika dan pendidikan seolah diabaikan.  Seharusnya, rakyat yang miskin itu digratiskan pendidikannya agar mempunyai keterampilan dan pekerjaan yang layak.
 
Sekretaris Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia/FIB UI) Bondan Kanumoyoso  berpendapat, untuk menyelesaikan prostitusi  terkait berbagai aspek kehidupan sosial.  Karena itu pemerintah dan masyarakat harus mengkaji masalah ini secara komprehensif, baik dari aspek sosial politik, ekonomi, pendidikan, lingkungan, keluarga dan sebagainya, karenanya  masalahnya  sangat rumit dan kompleks.
 
"Apalagi di kota-kota besar seperti Jakarta, yang tentu sangat heterogen dan jumlahnya terus bertambah. Sementara lapangan kerja sulit, sehingga  mereka mengambil jalan pintas dengan melacur," kata Bondan.(romg)
Ikuti RiauAktual di GoogleNews

Berita Lainnya

Index