LGBT : Antara Eksitensi Pola Pikir Atau Justifikasi Yang Perlu Dicibir ?

LGBT : Antara Eksitensi Pola Pikir Atau Justifikasi Yang Perlu Dicibir ?
Ilustrasi (net)

PEKANBARU - Belakangan isu LGBT, akronim dari Lesbian, Gay, Bisexual, dan Transgender, mencuat di media sosial. Untuk Indonesia, LGBT adalah isu yang sangat sensitif. Isu ini mendulang perdebatan. Ada dua kubu yang bermain. Pertama, kelompok pendukung. Kelompok ini berlindung pada HAM dan bertameng argumentasi saintifik yang menyebutkan bahwa orientasi seksual sejenis juga sama normalnya dengan orientasi heteroseksual.

Sebagian manusia memang dilahirkan dengan kecenderungan homoseksual. Dengan demikian. ia adalah sesuatu yang normal, dan ia hanyalah bagian dari keragaman manusia di dunia ini. Dengan demikian, eksistensi dan hak-hak mereka harus dipenuhi. Tidak boleh ada diskriminasi.

Kelompok kedua sebaliknya, penentang. Kelompok ini menggunakan argumen agama bahwa tidak ada satu agama pun yang merestui hubungan seks sejenis. Cerita Luth dan pertentangan kaumnya dijadikan kisah teladan, bahwa perilaku menyimpang homoseksual berujung kepada azab.

Isu Aids dikemukakan, bahwa mayoritas kasus Aids berasal dari hubungan seks sejenis. Oleh sebab itu, menurut kelompok kedua ini, LGBT harus diberantas. Mereka harus diusir.

Di Negara Indonesia sendiri merupakan negara yang menjunjung tinggi hak asasi setiap warga negara. Negara menjamin hak asasi dan kebebasan setiap orang dalam kehidupan sehari-hari. Di Indonesia, Pasal 27 sampai 34 mengatur tentang hak asasi manusia. Pasal-pasal tersebut menyatakan bahwa setiap orang berhak atas keadilan dalam setiap kehidupan dan atas perlindungan pribadi.

Pasal tersebut dengan jelas menyatakan bahwa setiap orang dengan dukungan negara berhak atas keamanan dan perlindungan hak asasi manusia.

Namun, pertanyaan utama dari masalah ini adalah, apakah hak asasi manusia ini menyimpang atau tidak, apakah semua bentuk hak asasi manusia yang ada di masyarakat perlu dilindungi? Indonesia memang negara yang sah yang bisa mengatur dan melindungi semua warga negaranya sesuka hati, tanpa terkecuali.

Di Indonesia sendiri, mengingat Indonesia memiliki suku dan agama yang berbeda, ada norma-norma yang berasal dari  sumber yang berbeda dan cenderung didominasi oleh norma-norma agama dan adat istiadat. Tentu saja norma-norma tersebut mengandung aturan-aturan tidak tertulis yang mengatur bagaimana setiap individu berperilaku.  

Tidak heran jika penolakan terhadap kaum LGBT Indonesia sering dilakukan karena jauh dari norma yang ada. Di sisi lain, kami memahami bahwa perilaku menyimpang seperti LGBT tidak boleh dinormalisasi, terutama di negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, tetapi negara ini juga menganut sistem hukum semua warga negara.

Menurut pendapat Maidina Rahmawati, Peneliti Institute For Justice Reform and Criminal Studies (ICJT), mengatakan LGBT adalah kejahatan dari sudut pandang moral. Banyak pertanyaan  muncul ketika membahas kontroversi ini. Apakah keadilan hanya diberikan pada sesuatu yang "wajar"? Apakah negara juga berhak untuk tetap diam ketika masyarakat tampaknya perlahan mengembangkan pemikirannya?

Tanggapan saya, bahwasanya kita bisa mengubah kode nilai dengan alasan-alasan tertentu, kita juga bisa mempertahankan nilai-nilai tertentu dengan alasan-alasan tertentu pula.  Seperti pertama, ketika tren selfie dan upload foto di media sosial mencuat, kita melihat artikel-artikel kecil yang beredar di internet menyebut bahwa selfie duckface termasuk kepada kategori kelainan psikis. Tentu saja ini hanya hal yang sederhana. Tidak ada yang dirugikan dan diganggu.

 

 

Penulis : Jihan Fauziah Ahmad
Mahasiswi Bimbingan Konseling Islam UIN Sultan Syarif Kasin Riau

Ikuti RiauAktual di GoogleNews

Berita Lainnya

Index