Riauaktual.com - Wacana pemerintah membentuk bullion bank atau bank emas di Tanah Air, dinilai sebagai upaya inisiatif mencari tambalan devisa saat resesi. Namun, tetap perlu kajian lebih mendalam untuk merealisasikannya.
Pembentukan bullion bank diharapkan bisa memberi manfaat penghematan devisa, sumber pembiayaan bagi industri, dan diversifikasi produk bagi bank.
Saat ini komoditas emas memang berada di wilayah Kementerian Perdagangan, dan di bawahnya ditangani oleh Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), yang juga terintegrasi langsung dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI).
Dari sisi perbankan, keberadaan bullion bank sebenarnya cukup baik, karena bisa menambah produk layanan emas dan logam mulia. Khususnya perbankan syariah yang memang diperkenankan oleh regulator untuk menjalankan bisnis jual beli emas. Mulai dari tabungan emas, cicil emas hingga gadai emas dengan menggunakan prinsip syariah.
Deputi Komisioner Humas dan Logistik OJK Anto Prabowo belum bisa berkomentar banyak terkait hal itu.
“Saya belum dengar soal itu. Yang saya tahu memang masih wacana kan,” kata nto singkat kepada Rakyat Merdeka, kemarin.
Dihubungi terpisah, Direktur PT TRX Garuda Berjangka, Ibrahim Assuabi berpendapat, pemerintah cukup jeli mengambil rencana di tengah kondisi resesi seperti sekarang. Sehingga membutuhkan regulasi baru untuk mendongkrak devisa.
“Target pemerintah di 2021, Indonesia keluar dari resesi. Untuk itu, butuh berbagai terobosan. Kita harus mendukung (rencana bullion bank),” kata Ibrahim dikutip dari Rakyat Merdeka (RM.id).
Emas, lanjut Ibrahim, telah menjadi salah satu sumber cadangan devisa di berbagai negara. Hampir semua negara ada bullion bank, sedangkan di Indonesia keberadaannya baru sekadar wacana.
Karena itu, dia setuju jika harus dikaji lebih dalam, terkait untung rugi adanya bullion bank di Indonesia.
Menurutnya, keberadaan bullion bank memungkinkan sekali dijadikan alternatif penambal devisa. Namun, jika tujuan pemerintah untuk mengatur fluktuasi harga emas, itu akan di luar kendali pemerintah. Sebab, harga emas masih sangat tergantung dengan kondisi global, layaknya rupiah.
“Karena akan ada faktor sentimen di luar dan dalam negeri, yang membentuk harganya bisa naik atau turun,” imbuhnya.
Diketahui, Indonesia memiliki pertambangan Grasberg di Papua, yang merupakan tambang emas terbesar di dunia setelah South Deep Gold Mine di Afrika Selatan. Dengan cadangan emasnya mencapai 30,2 juta ounce.
Selain itu, Indonesia juga merupakan negara produsen emas terbesar ketujuh di dunia dengan produksi mencapai 130 ton per tahun atau 4,59 juta ounce pada 2020.
Sementara, PT Aneka Tambang (Persero) Tbk atau Antam sebagai produsen emas, masih tergolong sebagai junior gold miner company dengan produksi tahun lalu sebesar 1,7 ton.
Konsumsi emas Indonesia cenderung masih rendah dengan rincian untuk retail investment 172.800 ounce dan perhiasan 137.600 ounce.
Kurang Berkilau
Tahun ini, investasi emas diproyeksikan masih redup. Menurut Ibrahim, ini terjadi lantaran muncul pesaing emas, yaitu mata uang kripto (Cryptocurrency) seperti bitcoin, yang banyak diminati di pasar global. Selain itu, vaksinasi di berbagai negara membuat optimisme masyarakat muncul.
“Sekarang waktu yang tepat untuk masyarakat membeli emas yang kecil-kecil, 1-2 gram. Walau tahun ini kurang berkilau, tapi masih tetap bagus sebagai investasi jangka panjang 5-10 tahun,” saran Ibrahim.
