UU ITE Bungkam Kebebasan Berekspresi

UU ITE Bungkam Kebebasan Berekspresi
ilustrasi

NASIONAL (RA) - Revisi Undang-Undang No 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang disahkan DPR pada 27 Oktober dan mulai berlaku kemarin, berpotensi membungkam kebebasan berekspresi.  

Institute for Criminal Justice Reform dan LBH Pers menilai revisi UU ini hanya melegitimasi kepentingan pemerintah, dengan menambahkan kewenangan-kewenangan baru untuk membungkam sikap kritis masyarakat.

Seperti pada ketentuan Pasal 27 ayat 3 tentang larangan mendistribusikan informasi elektronik bermuatan penghinaan atau pencemaran nama baik, pemerintah dan DPR tidak menghapus pasal ini, namun hanya mengurangi ancaman hukumannya dari enam tahun penjara dan denda Rp 1 miliar menjadi 4 tahun penjara dan denda Rp 750 juta.

Pasal ini juga masih memuat pasal-pasal pidana yang bersifat karet, multi intrepretasi dan mudah disalahgunakan dan memberikan kewenangan diskresi kepada aparat penegak hukum.

Hal lain yang dikritisi adalah penghapusan konten dan pemblokiran konten yang dianggap menambahkan kewenangan pemerintah tanpa mengatur mengenai kewajiban dan prosedur yang memadai.

Hal itu misalnya, tercantum  dalam pasal 40 huruf (b) yang berbunyi, “Pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses atau memerintahkan kepada penyelenggara sistem elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum”.

Berdasarkan data dari Southeast Asia Freedom of Expression Network alias Safenet yang dirangkum lembaga analisis Remotivi disebutkan, kasus pencemaran nama baik paling banyak dilaporkan oleh aparatur negara yang diterjemahkan sebagai pejabat pemerintah atau orang yang bekerja di lembaga pemerintahan.

Data itu juga menyatakan, paling sedikit ada 50 kasus laporan yang dilayangkan aparatur negara, sementara laporan dari pihak berlatar belakang profesional 32 kasus, masyarakat sipil 28 kasus, pelaku bisnis 14 kasus.

Aparatur negara itu terdiri dari walikota, bupati, dan gubernur 40 persen, DPR dan DPRD 14 persen, hakim dan jaksa 14 persen, PNS 14 persen, dan TNI atau Polri 12 persen.

Adapun korban yang paling banyak dilaporkan dengan UU ITE paling banyak adalah aktivis LSM, profesional, kemudian aparatur negara dan wartawan.

"Salah satu pasal yang saat ini membahayakan bagi pers adalah pasal 26 (UU ITE) mengenai hak untuk dilupakan," kata Wisnu Prasetya Utomo, analis Remotivi seperti dikutip dari rimanews.

Pada pasal ini diatur setiap penyelenggara sistem elektronik wajib menghapus informasi atas permintaan orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan. Pasal ini dinilai akan menjadi problem baru, karena dapat menjadi alat baru untuk melakukan sensor atas berita, berita publikasi media dan jurnalis.

Pakar hukum dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Mudzakir, karena itu meminta aparat penegak hukum untuk lebih berhati-hati dalam menangani kasus-kasus yang berkaitan dengan ITE.

Aparat penegak hukum, kata dia, harus lebih jeli menerjemahkan pasal-pasal dalam Undang-Udang ITE. “Harus selektif. Tidak semua konten langsung diproses karena ini ruang publik, salah satu di dalamnya menyangkut hak konstitusional orang," kata Muzakir.

Follow WhatsApp Channel RiauAktual untuk update berita terbaru setiap hari
Ikuti RiauAktual di GoogleNews

Berita Lainnya

Index