RIAU (RA) - Banjir di Kota Pekanbaru bukan lagi sekadar persoalan musiman, melainkan masalah struktural yang mencerminkan kegagalan tata kelola kota.
Hampir setiap musim hujan, genangan air kembali muncul di jalan protokol, kawasan permukiman, hingga pusat ekonomi. Ironisnya, pola masalahnya relatif sama, namun kebijakan yang diambil seolah berputar di tempat.
Selama bertahun-tahun, penanganan banjir di Pekanbaru masih didominasi pendekatan jangka pendek dan simbolik. Normalisasi parit dan sungai dilakukan berulang kali, tetapi tanpa evaluasi menyeluruh dan perencanaan jangka panjang.
Anggaran terus terserap, namun banjir tetap datang. Ini menunjukkan bahwa persoalan utama bukan terletak pada kurangnya kegiatan, melainkan pada arah kebijakan yang keliru.
Tata Ruang yang Dikalahkan Kepentingan Jangka Pendek
Salah satu akar persoalan banjir Pekanbaru adalah lemahnya konsistensi kebijakan tata ruang. Alih fungsi lahan terjadi masif, daerah resapan air menyusut drastis, dan bangunan berdiri di atas maupun di sempadan saluran air.
Kondisi ini menandakan bahwa kepentingan jangka pendek pembangunan sering kali mengalahkan prinsip keberlanjutan.
Lebih memprihatinkan, pelanggaran tata ruang kerap dibiarkan tanpa sanksi tegas. Penegakan aturan terkesan kompromistis dan tidak memberikan efek jera.
Selama kebijakan tata ruang tidak ditegakkan secara konsisten, maka normalisasi sungai hanya akan menjadi rutinitas tahunan yang tidak pernah menyelesaikan masalah banjir secara mendasar.
Masyarakat Sering Disalahkan, Kebijakan Jarang Dievaluasi
Dalam banyak kesempatan, perilaku masyarakat sering dijadikan penyebab utama banjir. Memang benar, kebiasaan membuang sampah ke parit dan rendahnya kepedulian lingkungan memperparah kondisi.
Namun, menjadikan masyarakat sebagai kambing hitam adalah cara mudah untuk menutupi kegagalan kebijakan.
Partisipasi publik tidak akan tumbuh tanpa desain kebijakan yang jelas. Edukasi lingkungan, program kampung sadar drainase, insentif sumur resapan dan biopori masih bersifat sporadis, belum menjadi kebijakan sistemik.
Pemerintah seharusnya memposisikan masyarakat sebagai mitra strategis, bukan sekadar objek imbauan.
Kegagalan Berpikir Jangka Panjang
Banjir Pekanbaru juga mencerminkan kegagalan perencanaan kota dalam perspektif jangka panjang. Pembangunan masih berorientasi pada beton dan pengerasan lahan, sementara ruang terbuka hijau terus tergerus.
Padahal, berbagai kajian tata kota modern menegaskan bahwa pendekatan ini justru meningkatkan risiko banjir.
Pendekatan solusi berbasis alam (nature-based solutions) belum ditempatkan sebagai arus utama kebijakan.
Kolam retensi, taman resapan, dan kawasan hijau multifungsi masih dipandang sebagai pelengkap, bukan infrastruktur inti pengendalian banjir.
Belajar dari Curitiba, Brasil
Kota Curitiba di Brasil memberikan pelajaran penting. Pemerintah kota tersebut tidak melawan banjir dengan beton semata, melainkan mengubah kawasan rawan banjir menjadi taman kota dan ruang terbuka hijau yang berfungsi sebagai daerah tampungan air alami.
Saat hujan lebat, air dibiarkan menggenang di ruang publik tersebut, bukan memasuki permukiman warga.
Keberhasilan Curitiba terletak pada keberanian kebijakan, konsistensi tata ruang, integrasi perencanaan, serta keterlibatan masyarakat.
Pendekatan ini terbukti efektif, ramah lingkungan, dan berkelanjutan. Inilah pelajaran yang relevan, namun belum sungguh-sungguh diadopsi di Pekanbaru.
Penutup: Saatnya Berani Mengubah Arah
Jika Pekanbaru ingin keluar dari lingkaran banjir yang berulang, maka perubahan arah kebijakan tidak bisa lagi ditunda. Pengendalian banjir harus menjadi agenda lintas sektor dengan indikator kinerja yang jelas dan terukur.
Penegakan tata ruang harus dilakukan tanpa kompromi. Ruang terbuka hijau harus diperlakukan sebagai kebutuhan dasar kota, bukan sekadar hiasan pembangunan.
Masalah banjir Pekanbaru sudah terlalu lama untuk diselesaikan dengan cara lama. Tanpa keberanian politik untuk meninggalkan pendekatan tambal sulam, banjir akan terus menjadi "tamu tahunan". Kota ini membutuhkan cara baru, kebijakan baru, dan keberanian untuk berubah.
Oleh: Heri Susanto
