AGAM (RA) - Hujan yang kembali membasahi Kecamatan Palembayan, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, membawa ironi yang menyayat hati. Bagi kebanyakan orang, rintik air adalah berkah, namun bagi para siswa SDN 09 Gumarang dan anak-anak korban bencana lainnya, ia telah menjelma menjadi simbol ketakutan.
Mereka adalah korban tak terlihat dari bencana banjir bandang, atau galodo, yang beberapa waktu lalu melanda wilayah tersebut, meninggalkan luka fisik dan trauma psikis yang mendalam.
Kecemasan yang mencengkeram itu tergambar jelas pada sosok Wilda Ariani, seorang guru agama, yang pagi itu datang ke sekolah dengan membawa serta dua buah hatinya.
Nazuratul Husna dan Affan Zafran, yang sekolahnya diliburkan akibat dampak bencana, kini menjadi fokus utama perjuangan Wilda. Ia menyadari bahwa trauma yang membayangi anak-anaknya jauh lebih serius daripada kerusakan material, dan sesi terapi menjadi secercah harapan di tengah keputusasaan.
Wilda, warga Nagari Salareh Aia, Palembayan, mengungkapkan bahwa rasa takut kedua anaknya kini sepenuhnya terkoneksi dengan cuaca. Setiap tetes hujan yang jatuh memicu kecemasan yang ekstrem.
Dengan mata berkaca-kaca, ia mengenang pertanyaan polos sang anak: "Apa doa supaya hujan berhenti?" sebuah permohonan yang menunjukkan bahwa bagi mereka, hujan adalah pertanda petaka, bukan lagi sumber kehidupan.
Sebagai seorang ibu sekaligus guru agama, Wilda telah berupaya menenangkan mereka, menjelaskan bahwa hujan adalah rahmat. Namun, ketakutan itu terlalu kuat untuk diatasi hanya dengan bujukan. Ia bercerita bahwa upaya penenangannya hanya dibalas dengan jawaban 'iya' yang lemah, disertai dengan wajah pucat.
Bahkan, rasa takut tersebut mendorong anak bungsunya untuk menjadi sangat rajin salat, sebuah bentuk pertolongan spiritual yang dicari anak-anak untuk mengatasi beban emosional mereka.
Trauma itu juga bermanifestasi secara fisik pada anak sulungnya.
"Kalau yang tua (anak sulung) itu kalau dah hujan katanya sesak dadanya," kata Wilsa.
Rasa takut itu sebuah gambaran nyata betapa peristiwa mengerikan tersebut telah mengakar menjadi keluhan somatik.
Hal ini semakin meyakinkan Wilda untuk membawa mereka ke sesi trauma healing, berharap anak-anaknya dapat mempelajari mekanisme koping untuk mengatasi ketakutan yang mencekik.
Latar belakang trauma keluarga Wilda memang sangat berat. Bencana galodo pada Kamis (27/11/2025) sore tidak hanya merusak rumah, tetapi juga merenggut nyawa paman Wilda, dan hingga kini, istri pamannya masih dinyatakan hilang.
Kedekatan mereka dengan pusat bencana membuat dampak psikis yang dialami anak-anak sangat mendalam dan sulit dipulihkan hanya dengan bujukan orang tua.
Pagi itu, SDN 09 Gumarang menjadi panggung bagi upaya penyembuhan. Tim Trauma Healing dari Polda Riau bersama Himpunan Psikologi Indonesia (HIPSI) hadir, tidak hanya membawa permainan, melainkan juga metode sederhana untuk mengurai simpul-simpul trauma.
Kehadiran mereka merupakan sebuah pendekatan psikologis yang mendalam, di mana para konselor berusaha membaca kondisi kejiwaan anak-anak pasca bencana.
Melalui interaksi dan permainan, mereka mengajarkan anak-anak teknik dasar untuk mengelola kecemasan, meyakinkan mereka bahwa sekolah adalah tempat yang aman, terlepas dari kondisi cuaca di luar. Fokusnya adalah pada penguatan mental, mengubah narasi ketakutan menjadi penerimaan yang lebih sehat terhadap fenomena alam.
Dengan penuh harap, Wilda memandangi anak-anaknya yang berinteraksi dalam sesi terapi. Doa agar hujan berhenti mungkin terlalu besar untuk dikabulkan.
Namun, Wilda berharap, lewat pendampingan ini, rasa trauma itu akan sedikit demi sedikit terangkat, sehingga anak-anak Agam dapat kembali memandang rintik hujan sebagai berkah, bukan lagi sebagai pertanda petaka yang merenggut segalanya.
#BANJIR
