RIAU (RA) - Sejumlah alumni Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim (UIN Suska) Riau membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) terkait kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) di Kantor Dinas PUPR-PKPP Provinsi Riau yang menyeret Gubernur Riau Abdul Wahid (AW).
Langkah ini diambil usai pertemuan keluarga besar dan alumni UIN Suska Riau pada Rabu (5/11/2025) di sebuah kafe di Pekanbaru.
Pertemuan itu membahas informasi simpang siur terkait penetapan AW, yang juga menjabat sebagai Ketua Umum PP IKA UIN Suska Riau, sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Beberapa kawan yang bukan bagian dari pemerintahan AW-SF berinisiatif membentuk TPF. Kami ingin menelusuri kejadian yang dialami Ketum kami, karena banyak berita tidak konsisten. Ini bukan membenarkan pelanggaran hukum, tapi mencari kebenaran sebelum persidangan," ujar Rinaldi, yang ditunjuk sebagai Koordinator TPF OTT PUPR Riau.
Rinaldi menyebut TPF akan fokus pada penelusuran fakta hukum dan menyiapkan rekomendasi advokat untuk mendampingi keluarga maupun pihak Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
"Sudah ada beberapa advokat yang siap mendampingi karena melihat adanya kejanggalan sejak awal kejadian," tambahnya.
Sementara itu, aktivis 98 Mahbuh Hamda, menilai pembentukan TPF juga bagian dari upaya memastikan perlakuan hukum yang adil bagi AW.
"Kami tidak membela pelanggaran hukum. Tapi kami ingin memastikan Ketum kami mendapatkan perlakuan setara di mata hukum," tegas Mahbuh.
Sebelumnya, penetapan Abdul Wahid sebagai tersangka juga menuai sorotan dari akademisi dan tokoh Melayu Riau Prof. Dr. H. Sufian Hamim. Ia menilai ada kejanggalan konstruksi hukum dalam pasal pemerasan yang digunakan KPK.
Menurutnya, jika benar unsur pemerasan yang dimaksud, maka seharusnya hal itu merupakan delik pidana umum, bukan tindak pidana korupsi.
"Kalau pemerasan, itu pidana umum, bukan Tipikor. Jadi harus jelas kewenangan absolut dan relatifnya. Jika tindakan pribadi, tidak bisa langsung dikaitkan dengan jabatan penyelenggara negara," kata Prof Sufian.
Ia juga menegaskan, penetapan tersangka harus didukung dua alat bukti sah dan meyakinkan. Jika tidak, kata dia, pihak tersangka bisa menempuh jalur praperadilan.
"Kalau ingin mencari keadilan, praperadilan bisa ditempuh. Itu hak konstitusional," ujarnya.
Prof Sufian menambahkan, dalam dugaan pemerasan, pihak yang dirugikan semestinya melapor ke polisi, bukan melalui OTT KPK.
"Kalau delik pemerasan, pelapornya pihak yang diperas ke kepolisian, bukan OTT KPK," tegasnya.
Ia juga menyoroti pentingnya bukti tertulis bila KPK menyebut adanya perintah dari gubernur.
"Kalau ada perintah, harus tertulis, bukan lisan. Tanpa bukti sah, saya yakin KPK bisa kalah di praperadilan," tutup Prof Sufian.
#Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
#Operasi Tangkap Tangan (OTT)
