PEKANBARU (RA) - Kantor Hukum Lazzaro Law Firm melalui advokat dan konsultan hukum Rinto Maha, S.H., M.H., menyampaikan hak jawab atas pemberitaan yang dimuat Riauaktual.com pada 23 September 2025 berjudul Kejagung Beberkan Skandal Korupsi Satelit Kemhan 2016, PT Navayo Rugikan Negara Rp350 Miliar.
Hak jawab ini disampaikan berdasarkan kuasa khusus tertanggal 3 Juli 2025 dari kliennya, Laksamana Muda TNI (Purn) Ir. Leonardi, MSc.
Dalam keterangan resminya tertanggal 29 September 2025, Rinto Maha menyebut berita yang dirilis Kapuspenkum Kejagung, Anang Supriatna tersebut perlu diluruskan karena dianggap tidak seimbang, mengandung insinuasi dan kesimpulan prematur, tidak mencerminkan asas praduga tak bersalah, serta tidak sesuai dengan fakta hukum.
Rinto menjelaskan, benar Leonardi saat itu menjabat Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) sekaligus Kepala Baranahan Kementerian Pertahanan (Kemhan) (2015-2017).
Namun, sesuai Permenhan Nomor 17 Tahun 2014 Pasal 14 dan Permenhan Nomor 14 Tahun 2017 Pasal 12, PPK tidak memiliki kewenangan melakukan penunjukan langsung penyedia.
Menurut aturan, penetapan pemenang pengadaan dengan nilai di atas Rp100 miliar adalah kewenangan Menteri Pertahanan (Menhan), Jenderal TNI (Purn) Ryamizard Ryacudu (saat itu, red), bukan PPK.
Pengadaan user terminal dari PT Navayo, kata Rinto, merupakan subkontrak dalam proyek satelit dengan Airbus, yang pemenangnya ditetapkan langsung oleh Menhan. Sehingga, narasi bahwa kliennya menunjuk langsung PT Navayo dinilai tidak benar.
Rinto juga meluruskan narasi penandatanganan kontrak Core Program/User Terminal senilai USD 34,1 juta saat anggaran masih diblokir.
Menurut Rinto, kontrak ditandatangani 12 Oktober 2016, setelah adanya persetujuan lisan dari Sekjen Kemhan pada 7 Oktober 2016, dan disposisi tertulis Menhan pada 20 Oktober 2016.
"Tidak masuk akal jika klien kami digambarkan sebagai penentu pengadaan atau seolah menyalahgunakan wewenang," jelasnya.
Menurut Rinto lagi, tudingan terhadap Leonardi terus berubah, mulai dari disebut membuat pengadaan palsu hingga persoalan kontrak saat anggaran diblokir. Ia menegaskan kliennya tidak bisa dijadikan kambing hitam.
"Yang seharusnya bertanggung jawab adalah Menteri Pertahanan saat itu, Jenderal TNI (Purn) Ryamizard Ryacudu, serta Ketua Tim Penyelamatan Satelit Mayjen TNI (Purn) Bambang Hartawan,” ujarnya.
Hak jawab juga menyoroti absennya Panitia Penerima Hasil Pekerjaan (PPHP) yang semestinya dibentuk Menhan. Sebaliknya, Ketua Tim Penyelamatan Satelit disebut mengambil alih kewenangan dengan memerintahkan pejabat lain menerima Certificate of Performance (CoP). Hal ini, kata Rinto, membuat kesalahan seolah ditimpakan kepada Leonardi.
Terkait audit BPKP yang menyebut kerugian negara USD 21,38 juta, Rinto menegaskan pemerintah belum membayar sepeser pun kepada Navayo.
"Berdasarkan Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016, unsur kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi harus nyata, pasti, dan aktual, bukan estimasi," ungkapnya.
Rinto menekankan kliennya mendukung proses hukum Kejagung, tetapi meminta fakta yang sebenarnya diungkap tanpa mengorbankan pihak yang bekerja sesuai aturan.
"Demikian hak jawab ini kami sampaikan. Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih," tutup Rinto Maha dalam keterangan resmi yang ditandatangani atas nama Kantor Hukum Lazzaro Law Firm.
