RIAUAKTUAL (RA) - Fenomena “Rojali” atau rombongan jarang beli muncul di banyak pusat perbelanjaan. Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, fenomena ini belum tentu mencerminkan kemiskinan, tetapi bisa menjadi sinyal tekanan ekonomi, terutama bagi kelompok rentan.
“Fenomena Rojali memang belum tentu mencerminkan tentang kemiskinan. Tetapi tentunya ini relevan juga sebagai gejala sosial,” kata Deputi Bidang Statistik Sosial BPS Ateng Hartono.
Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2025, kelompok pengeluaran atas tercatat menahan konsumsinya.
Namun hal ini belum berpengaruh langsung pada angka kemiskinan yang dihitung BPS.
“Kelompok atas memang agak menahan konsumsinya. Ini kita amati dari Susenas. Namun ini tentu tidak serta-merta berpengaruh ke angka kemiskinan karena itu kelompok atas saja,” ujarnya.
23,85 Juta Penduduk Miskin
Data BPS mencatat, jumlah penduduk miskin nasional pada Maret 2025 mencapai 23,85 juta orang atau 8,47 persen dari total penduduk. Angka ini turun 0,2 juta orang dari September 2024. Meski begitu, tren berbeda terjadi di perkotaan.
Persentase penduduk miskin di kota naik 0,07 poin menjadi 6,73 persen, sedangkan di desa turun 0,31 poin menjadi 11,03 persen.
Di saat bersamaan, BPS mencatat peningkatan jumlah setengah penganggur di kota sebanyak 460 ribu orang dari Agustus 2024 ke Februari 2025.
“Penduduk kota tergantung pada harga pasar. Yang kota kan sebagian besar tidak memproduksi sendiri. Sehingga kenaikan harga akan berpengaruh terhadap daya belinya,” kata Ateng.
Kenaikan harga bahan pokok seperti minyak goreng, cabai rawit, dan bawang putih juga mempersempit ruang konsumsi rumah tangga bawah dan kelompok rentan. Hal ini berpotensi mendorong mereka turun ke bawah garis kemiskinan jika tidak diantisipasi.
Tanda Bahaya bagi Kelas Menengah Bawah
Ateng menyebutkan, meskipun Rojali belum menjadi variabel pengukur statistik resmi, gejala ini bisa menjadi alarm sosial yang patut dicermati.
“Rojali adalah sinyal penting bagi pembuat kebijakan untuk tidak hanya fokus menurunkan angka kemiskinan, tetapi juga memperhatikan ketahanan konsumsi dan stabilitas ekonomi rumah tangga pada kelas menengah bawah,” ucapnya.
Hingga kini, BPS belum memiliki survei spesifik yang menyasar fenomena semacam ini.
“Kami belum sampai survei ke ala Rojali. Kami surveinya hanya berbasis ke rumah tangga sampel di Susenas kita,” katanya.
Ateng mendorong semua pihak untuk mengamati lebih jauh—siapa sebenarnya yang jadi “Rojali”: kelompok atas, kelas menengah, kelompok rentan, atau bahkan penduduk miskin.
Jawaban dari pertanyaan ini bisa menjadi kunci memahami risiko sosial-ekonomi yang tengah mengendap di balik angka statistik.
