JAKARTA (RA) - Tim Penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAM PIDSUS) Kejaksaan Agung menetapkan empat orang sebagai tersangka dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi program digitalisasi pendidikan di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) periode 2019 hingga 2022.
Keempat tersangka tersebut yakni SW selaku Direktur Sekolah Dasar sekaligus Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) pada tahun 2020-2021, MUL selaku Direktur SMP periode yang sama, JT selaku Staf Khusus Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim (NAM),serta IBAM selaku Konsultan Teknologi di Kemendikbudristek.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Harli Siregar menjelaskan, penetapan tersangka dilakukan berdasarkan hasil penyidikan yang telah memeriksa 80 saksi dan 3 orang ahli. Tim juga telah menyita barang bukti berupa dokumen serta perangkat elektronik yang sah secara hukum.
Kasus ini berawal dari kegiatan pengadaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) untuk PAUD, SD, SMP, dan SMA di seluruh Indonesia dengan nilai anggaran mencapai Rp9,3 triliun, bersumber dari APBN dan Dana Alokasi Khusus (DAK).
Penyidikan menemukan indikasi penyalahgunaan kewenangan oleh para tersangka, dengan mengarahkan pengadaan TIK hanya pada satu jenis sistem operasi, yakni ChromeOS.
Keputusan ini diduga melibatkan intervensi langsung dari JT sebagai staf khusus Menteri yang tidak memiliki wewenang dalam proses perencanaan maupun pengadaan barang/jasa. Ia diketahui membentuk grup WhatsApp "Mas Menteri Core Team" sejak Agustus 2019 bersama NAM dan FN, bahkan sebelum NAM resmi menjabat sebagai Menteri.
Dalam perjalanan proyek, JT dan IBAM terlibat aktif dalam rapat-rapat teknis, termasuk pertemuan dengan pihak Google yang menjanjikan co-investment sebesar 30% apabila pengadaan TIK menggunakan ChromeOS.
JT juga menjadi penghubung antara Google dan pejabat internal Kemendikbudristek. IBAM, yang juga merupakan orang dekat Menteri, disebut mempengaruhi hasil kajian teknis agar hanya mengakomodasi ChromeOS dalam pengadaan.
Tersangka SW dan MUL, yang memegang posisi strategis sebagai pejabat pengadaan, diduga dengan sadar menindaklanjuti arahan tersebut. Mereka bahkan membuat petunjuk pelaksanaan dan teknis yang secara khusus mengarahkan pilihan pengadaan kepada perangkat berbasis ChromeOS, termasuk melakukan pergantian pejabat PPK yang menolak mengikuti perintah tersebut. Akibatnya, proses pengadaan dilakukan secara tidak wajar dan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pengadaan pemerintah.
"Seluruh proses ini telah mengakibatkan kerugian keuangan negara yang sangat besar, yakni mencapai Rp1,98 triliun. Kerugian ini berasal dari pengadaan software senilai Rp480 miliar serta markup harga laptop senilai Rp1,5 triliun," ujar Harli, Selasa malam.
Harli juga menjelaskan bahwa sistem operasi ChromeOS yang dipaksakan dalam proyek ini terbukti tidak cocok dan sulit digunakan oleh guru dan siswa, terutama di wilayah 3T (Terdepan, Terluar, dan Tertinggal), sehingga tujuan awal program digitalisasi pendidikan tidak tercapai.
Para tersangka dijerat dengan pasal berlapis, yakni Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 dan Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, junto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
