RIAU (RA) - Langkah tegas Kapolda Riau Irjen Pol Herry Heryawan dalam membongkar praktik perambahan kawasan hutan lindung di Desa Balung, Kecamatan XIII Koto Kampar, mendapat apresiasi luas dari berbagai kalangan.
Salah satunya datang dari Satgas Generasi Muda Peduli Lingkungan, yang merupakan bagian dari Working Group Indonesian Greenline Foundation (IGF).
"Ini bukan semata soal penegakan hukum, tapi bentuk nyata keberpihakan negara terhadap masa depan lingkungan hidup," kata Dodi Sugiarto, S.IP, Koordinator Satgas Generasi Muda Peduli Lingkungan, Senin (9/6/2025).
Menurut Dodi, pengungkapan kasus ini merupakan sinyal kuat bahwa hukum tidak tunduk pada kekuatan modal maupun jaringan mafia lahan yang selama ini merajalela.
Ia menyebut operasi yang dilakukan oleh Polda Riau sebagai momentum awal untuk membongkar jaringan kejahatan lingkungan yang lebih besar di wilayah tersebut.
Polda Riau mengungkap bahwa luas lahan hutan yang telah dirambah mencapai 60 hektare, dengan sekitar 50 hektare sudah ditanami sawit berusia antara 6 bulan hingga 2 tahun. Sementara sisanya masih dalam tahap pembukaan lahan.
Namun, berdasarkan investigasi Satgas dan laporan warga, potensi kerusakan lingkungan diperkirakan jauh lebih luas.
"Luas kawasan yang terancam bisa mencapai 6.000 hektare. Ini bukan hanya soal satu titik, tapi soal pembiaran yang mungkin sudah berlangsung sejak 2023," jelas Dodi.
Satgas menilai bahwa menjaga lingkungan tidak bisa hanya dibebankan pada aparat kepolisian. Peran masyarakat sipil, khususnya kalangan muda, harus semakin nyata.
Dodi mengingatkan kembali deklarasi kolaborasi Satgas IGF bersama Mayjen TNI (Purn) Purwito, Deputi III Kemenko Polhukam, dalam agenda Coffee Meeting Karhutla pada April 2025 lalu.
"Kapolda sudah bergerak, sekarang giliran kami dari kalangan muda untuk ikut menjaga. Ini bukan pekerjaan musiman, tapi gerakan panjang," tegas Dodi.
Senada dengan Dodi, Muhammad Rezkiansyah, Koordinator lainnya dari Satgas Generasi Muda Peduli Lingkungan, menyampaikan bahwa IGF kini tengah mengembangkan sistem pelaporan cepat berbasis teknologi serta memperluas edukasi publik di titik-titik rawan kebakaran hutan dan konflik agraria.
"Tujuan kami bukan hanya memantau, tapi juga memberikan dukungan deteksi dini bagi aparat penegak hukum. Kami juga akan memperkuat literasi lingkungan di desa-desa sekitar hutan lindung," jelas Rezky.
Bagi Dodi, Rezky, dan jaringan IGF, kasus di Desa Balung membuka mata banyak pihak tentang modus baru perambahan, termasuk manipulasi dokumen hibah hingga penyalahgunaan simbol adat untuk melegalkan pembalakan liar.
"Yang dipertaruhkan bukan sekadar luasan tanah, tapi ekosistem, air, udara, dan hak generasi mendatang. Hukum harus ditegakkan, tapi hutan juga harus dikembalikan," ucap Dodi.
Rezky menambahkan, jika sisa hutan yang ada tidak segera dijaga, maka bangsa ini akan hidup dalam krisis ekologis permanen.
"Kalau yang tersisa pun tak dijaga, kita akan hidup dari luka yang tak bisa disembuhkan," tutupnya.
