JAKARTA (RA) – Anggaran Dana Desa (ADD) harus dikelola lebih bijak dengan membatasi penggunaan dana untuk sosialisasi, pelatihan, dan workshop.
Contohnya, di Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau, alokasi dana desa untuk kegiatan semacam itu setiap tahunnya mencapai Rp150-200 juta.
Beban anggaran ini dinilai memberatkan dan menghambat pembangunan infrastruktur yang lebih dibutuhkan masyarakat.
Anggota DPR RI, H. Mafirion, menerima keluhan ini saat kunjungan reses di Tembilahan, Riau, sepekan lalu. Beberapa kepala desa mengeluhkan kewajiban mengikuti kegiatan sosialisasi dan pelatihan yang setiap tahunnya serupa dan dinilai tidak memberikan manfaat signifikan.
“Ini tak boleh terjadi lagi di tahun 2025. Dana di ADD yang dihabiskan untuk sosialisasi dan pelatihan yang sama dari tahun ke tahun sangat memberatkan desa,” tegas Mafirion melalui keterangan tertulis, Senin (2/12/2024).
Menurut Mafirion, laporan dari kepala desa menunjukkan rincian anggaran ADD yang dihabiskan untuk kegiatan ini, di antaranya Penyuluhan narkoba dan workshop pengelolaan keuangan desa Rp15 juta. Pelatihan kader PKK, Posyandu, dan pengelolaan aset desa Rp85 juta. Peningkatan kapasitas Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan bimbingan sosialisasi UU Rp14,5 juta
“Dana yang dihabiskan setiap tahun cukup besar dan kegiatan yang dilakukan hanya ganti judul saja, tapi esensinya sama. Tak ada manfaat yang nyata bagi desa,” ujar Mafirion.
Para kepala desa mengaku tidak memiliki pilihan karena kegiatan tersebut diwajibkan, bahkan dengan ancaman sanksi jika tidak mengikuti atau menganggarkan.
Mafirion menyarankan agar sosialisasi dan pelatihan yang dianggap perlu tidak membebani ADD. Instansi pelaksana, baik vertikal maupun horizontal, seharusnya tidak meminta kontribusi dana sebesar Rp1-3 juta per kegiatan.
“Jika sosialisasi dan pelatihan memang penting untuk meningkatkan kapasitas SDM, biayanya harus ditanggung oleh instansi penyelenggara, bukan dari dana desa,” katanya.
Mafirion juga menegaskan bahwa penggunaan dana ADD harus lebih difokuskan pada pembangunan infrastruktur yang bermanfaat langsung bagi masyarakat desa. Bupati dan Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa diminta untuk lebih peduli dan mengawasi penggunaan ADD.
“Dana yang dihabiskan untuk kegiatan ini seharusnya tidak lebih dari 5 persen dari total ADD, bukan mencapai 20-25 persen seperti saat ini,” tambah Mafirion.
Mafirion meminta Kementerian Desa untuk memantau penggunaan dana desa agar sesuai dengan tujuan awalnya, yakni memajukan desa. Ia berharap program yang benar-benar bermanfaat dapat diutamakan, sementara kegiatan yang repetitif dan kurang relevan tidak lagi menjadi beban.
“Kemendes harus memastikan ADD digunakan untuk pembangunan yang benar-benar membawa perubahan positif bagi desa, bukan untuk hal yang sifatnya administratif semata,” pungkasnya.
#DPR/MPR RI