NAISONAL (RA) - Masih ingat dengan pimpinan DPR tandingan yang digulirkan Koalisi Indonesia Hebat? Koalisi yang dimotori PDI Perjuangan dan beranggotan partai-partai pendukung pemerintah itu, sepakat membentuk pimpinan DPR tandingan sebagai bentuk mosi tidak percaya terhadap kepemimpinan parlemen yang sepenuhnya dikuasai oleh politisi anggota Koalisi Merah Putih.
Beranggotakan lima fraksi, masing-masing PDI perjuangan, PKB, Partai NasDem, Partai Hanura, dan PPP, mereka memutuskan politisi senior PDI Perjuangan, Pramono Anung, sebagai ketua DPR. Di bawahnya ada empat wakil: Abdul Kadir Karding dari PKB, Syaifullah Tamliha dari PPP, Patrice Rio Capella dari NasDem, dan Dossy Iskandar dari Hanura.
Saat itu, PDI Perjuangan sebagai pemenang pemilu seolah tidak rela ketua dewan diambil oleh Partai Golkar yang meraih runner up di Pemilu 2014. Lebih dari itu, seluruh pimpinan komisi dan alat kelengkapan dewan dikuasai oleh politisi partai-partai anggota koalisi merah putih.
Namun seiring berjalannya waktu, ketegangan antara KMP dan KIH mencair setelah dilakukan pertemuan antara perwakilan KMP dan KIH di rumah Hatta Rajasa (saat itu ketua umum PAN). Pramono dan Olly Dondokambey mewakili KIH sementara KMP diwakili Hatta Rajasa dan Idrus Marham.
Waktu itu, Pramono menjelaskan, semua butir bersama telah dituangkan, dan butir kesepahaman akan disoisialisasi di masing-masing fraksi. Tidak ada lagi suara berbeda meskipun kondisi semacam itu tidak berlangsung lama.
Desember 2015, Ketua DPR Setya Novanto mundur dari jabatannya karena tersandung kasus "Papa Minta Saham". PDI Perjuangan sempat mewacanakan kocok ulang pimpinan DPR dengan terlebih dahulu mengubah Undang-Undang MPR, DPR, DPD,dan DPRD (MD3), tapi kandas dan ketua DPR tetap dikuasai Partai Golkar.
Golkar kemudian mengutus Ade Komarudin alias Akom sebagai pengganti Novanto yang digeser ke posisi ketua fraksi, jabatan yang sebelumnya diisi Akom. Namun belum genap satu tahun menjabat, Akom harus siap-siap menanggalkan jabatannya karena partainya kembali menugaskan Novanto yang terpilih sebagai ketua umum pada Munas Mei lalu, untuk menjabat lagi sebagai Ketua DPR.
Keputusan pleno DPP Golkar ini muncul setelah Mahkamah Konstitusi memenangkan gugatan Novanto dan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) memperbaiki nama baiknya.
Menanggapi manuver Golkar terbaru ini, partai-partai di DPR bereaksi. PDI Perjuangan misalnya, menyerahkan keputusan itu kepada Golkar, meskipun beberapa politisi PDIP tetap menyesalkan keputusan Golkar kembali menugaskan Novanto sebagai ketua DPR.
Ketua Badan Bantuan Hukum dan Advokasi DPP PDI Perjuangan, Arteria Dahlan, mengaku keberatan dengan keputusan Golkar. Alasannya menyangkut kepercayaan masyarakat terhadap DPR.
Menurut Arteria, masyarakat belum bisa menerima kehadiran Novanto sebagai Ketua DPR karena masih beranggapan bahwa putusan MK terkait penyadapan tidak serta merta menghapus permasalahan hukum yang menjerat Novanto.
"Permasalahan ini bukan lagi benar salah tapi permasalahan lebih substantif lagi mengenai kepantasan, kepatutan nilai-nilai moral dan kemanusiaan," kata Arteria kepada Zul Sikumbang seperti dikutip dari rimanews, kemarin.
Berbeda dengan Arteria, rekan separtainya, Charles Honoris justru setuju bila Novanto kembali menduduki jabatan Ketua DPR lagi. Menurutnya, keputusan Golkar mengangkat kembali Novanto harus dihormati. Terlebih, kasus-kasus dugaan pelanggaran etika yang pernah dihadapi Novanto juga sudah selesai.
Politisi senior PDI Perjuangan, Hendrawan Supratikno, mengatakan partainya tetap berharap partainya masuk dalam unsur pimpinan DPR. Dia beralasan, keadilan harus diperjuangkan mengingat PDI Perjuangan sebagai pemenang Pemilu 2014 lalu.
Hendrawan mengakui, secara ideal wacana itu perlu dikembangkan untuk mencerminkan DPR sebagai represntasi dari aspirasi rakyat.