MERANTI (RA) - Kisah pilu dialami pasangan suami istri di Selatpanjang, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau. Eramzi (58) dan istrinya, Norma (50), mengaku menjadi korban mafia tanah hingga sang suami dipenjara akibat laporan balik dari terlapor yang mereka tuding sebagai pelaku pemalsuan surat.
Norma nekat mencegat Kapolda Riau, Irjen Herry Heryawan, saat kunjungan kerja ke Selatpanjang. Dengan tangan bergetar, ia menyerahkan surat bukti laporan polisi yang dibuat suaminya terhadap seseorang berinisial Her alias Aguan.
"Pada 18 November 2025, Pak Kapolda datang ke SMA 3 Selatpanjang. Saya sudah menunggu di gerbang sekolah jam 9 pagi. Pas beliau mau naik mobil, saya sodorkan surat dan bilang suami saya jadi korban mafia tanah," cerita Norma melalui sambungan telepon, Sabtu.
Kapolda Riau menerima surat tersebut dan langsung membawanya. Meski pertemuan singkat, Norma mengaku sangat lega.
"Saya gugup sekali, tapi saya bersyukur beliau mau tanggapi saya. Semoga beliau bantu kami," katanya.
Norma berharap pihak kepolisian memproses laporan suaminya dan menghentikan kriminalisasi terhadap mereka. Ia menyebut laporan suaminya justru dibalas dengan laporan tandingan yang membuat Eramzi ditetapkan sebagai tersangka.
"Laporan suami saya belum diproses, tapi suami saya yang malah diperiksa dan dipenjara. Kami curiga ada oknum yang bermain. Mohon bantuan Pak Kapolda," ujarnya.
Kuasa hukum Eramzi, Herman, menjelaskan bahwa laporan kliennya terhadap Her alias Aguan dibuat pada 4 Februari 2025 terkait dugaan pemalsuan tanda tangan pada surat SKGR Nomor 07/PPAT/2000 tanggal 29 Februari 2000.
Surat itu bahkan digunakan sebagai alat bukti di Pengadilan Negeri Bengkalis tahun 2022.
Kasus bermula ketika pada 7 Juli 2019, Eramzi menyuruh buruh menebang batang sagu di kebun miliknya. Namun Her alias Aguan datang ke lokasi dan menghentikan pekerjaan dengan mengklaim bahwa tanah tersebut miliknya.
Sebulan kemudian, Her melaporkan Eramzi atas dugaan pemalsuan surat dan pencurian batang sagu.
Atas laporan itu, Eramzi ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Kepulauan Meranti.
"Padahal klien saya tak bisa baca tulis, bagaimana mau memalsukan surat?" kata Herman.
Saat diperiksa penyidik Ditreskrimum Polda Riau, Eramzi meminta melihat surat tanah yang diklaim milik Her.
Penyidik kemudian menunjukkan SKGR yang mencantumkan nama Eramzi sebagai penjual dan Her alias Aguan sebagai pembeli.
"Klien saya kaget. Ia merasa tidak pernah menjual tanah itu. Ia minta fotokopi SKGR, tapi penyidik tidak memberikan," ungkap Herman.
Mediasi dilakukan tiga kali namun gagal karena Her hanya menawarkan ganti rugi dengan nilai yang dinilai tidak layak. Pada 2022, Eramzi divonis 1 tahun 6 bulan penjara. Kini ia sudah bebas.
Menurut Herman, dari keterangan Her, saksi, dan fakta di persidangan, tidak ada transaksi jual-beli tanah sagu tersebut. Namun Her menggunakan SKGR 07/PPAT/2000 sebagai alat bukti kepemilikan.
"Harusnya justru Her yang diproses dengan Pasal 263 ayat (2) KUHP karena memakai surat yang diduga palsu sebagai alat bukti. Tetapi yang terjadi sebaliknya. Ada apa?" tegas Herman.
Atas kejanggalan itu, Herman kembali mendampingi Eramzi melaporkan Her ke Polda Riau. Gelar perkara dikabarkan telah dilakukan pada 5 Agustus 2025, namun hingga kini hasilnya belum keluar.
"Saya berharap laporan klien saya diatensi oleh Bapak Kapolda. Setiap warga negara sama di hadapan hukum. Jangan sampai yang lemah justru dikorbankan," tegas Herman.
Sementara itu, Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Riau, Kombes Asep Darmawan, saat dikonfirmasi menyatakan kasus tersebut masih berjalan.
"Sudah ditangani Subdit II," jawabnya singkat melalui pesan WhatsApp.