Nasib Lulusan Perguruan Tinggi di Tengah Kelesuan Ekonomi

Senin, 01 September 2025 | 06:06:22 WIB
ilustrasi pengangguran. FOTO/iStockphoto

RIAUAKTUAL (RA) - Lulus dari bangku kuliah seharusnya menjadi gerbang menuju masa depan yang cerah. Tapi bagi angkatan yang lulus di tengah kelesuan ekonomi, momen itu justru membuka jalan ke dunia kerja yang suram dan tak pasti.

Waktu kelulusan bisa menentukan arah karier dan kondisi finansial seumur hidup. Lulus di tengah resesi bukan sekadar tantangan sementara, tapi bisa jadi undian nasib buruk yang meninggalkan jejak panjang.

Gejala ini dikenal sebagai "efek bekas luka" atau scarring effect, merujuk pada dampak jangka panjang bagi mereka yang masuk pasar tenaga kerja saat ekonomi sedang lesu. Ditandai dengan pendapatan lebih rendah, pekerjaan kurang stabil, bahkan kesehatan dan kehidupan keluarga bisa ikut terdampak.

Dua orang yang telah lulus dari bangku kuliah dengan kemampuan sama, bisa punya nasib berbeda hanya karena beda tahun kelulusan. Ketika ekonomi goyah, investasi besar dalam pendidikan bisa berkurang nilainya. Efeknya bukan cuma ke individu, tapi juga kepada kepercayaan publik terhadap sistem pendidikan dan ekonomi.

Luka Panjang dari Resesi
Pemahaman modern soal scarring effect banyak bertumpu pada riset Lisa B. Kahn berjudul "The Long-Term Labor Market Consequences of Graduating from College in a Bad Economy" yang diterbitkan di Labour Economics.

Menggunakan data National Longitudinal Survey of Youth (NLSY) dari lulusan tahun 1979-1989 yang diikuti selama 14-23 tahun, Kahn menemukan bahwa para sarjana yang lulus saat kondisi perekonomian memburuk mengalami penurunan upah yang besar dan persisten sepanjang periode yang diteliti.

Resesi yang terjadi kala itu merupakan salah satu krisis paling tajam dalam sejarah modern AS, dengan dampak yang luas dan dalam terhadap pasar tenaga kerja. Dipicu oleh upaya agresif bank sentral Federal Reserve untuk menekan inflasi tinggi yang memburuk sejak dekade 1970-an.

Suku bunga dinaikkan secara drastis, yang menyebabkan lonjakan pengangguran nasional mencapai lebih dari 10 persen pada 1982. Tingkat pekerjaan juga menurun, terutama di sektor industri dan manufaktur.

Karena pasar tenaga kerja sedang lesu, banyak sarjana terpaksa menerima pekerjaan di bawah kemampuan mereka, di perusahaan kecil, posisi rendah, atau tanpa pelatihan memadai. Posisi awal ini membuat mereka tertinggal dalam pengembangan keterampilan dan promosi, sehingga jalur karier mereka melambat.

Studi Kahn menunjukkan bahwa efek negatif ini tidak hanya bersifat sementara, tetapi bertahan hingga dua dekade setelah kelulusan.
Kahn juga menemukan bahwa lulusan perguruan tinggi di masa resesi cenderung bertahan lebih lama di satu perusahaan dan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Tapi ini bukan tanda kemajuan, melainkan strategi bertahan. Mereka enggan pindah kerja karena takut gagal, dan memilih lanjut kuliah sambil menunggu ekonomi membaik. Sayangnya, ini bisa menunda masa produktif dan menambah utang pendidikan.

Jika riset Kahn menunjukkan betapa dalam luka akibat lulus di masa resesi, maka studi Philip Oreopoulos, Till von Wachter, dan Andrew Heisz memberi gambaran lebih lengkap soal bagaimana scarring effect bisa atau tidak bisa sembuh. Dengan data besar dari AS dan Kanada, mereka mengonfirmasi temuan Kahn di era digital.

Mereka menemukan bahwa lulus pada saat kondisi ekonomi buruk masih menyebabkan penurunan upah awal sekitar 6-9 persen dalam 10 tahun pertama. Namun, perbedaan signifikan muncul dalam hal kecepatan pemulihan. Platform pencari kerja daring seperti LinkedIn dan peluang freelancing telah memungkinkan pemulihan yang lebih cepat dibandingkan era 1980-an.

Di Asia, studi spesifik tentang perawat di Korea Selatan menunjukkan bahwa tingkat pengangguran saat kelulusan memiliki efek negatif pada upah yang sangat signifikan hingga 6 tahun setelah memasuki pasar kerja, sementara jam kerja terpengaruh positif hingga 10 tahun.

Penelitian juga menunjukkan dampak pada tingkat kebahagiaan, dengan tingkat pengangguran yang lebih tinggi saat kelulusan dikaitkan dengan perasaan kondisi keuangan yang lebih buruk dan kepuasan hidup yang lebih rendah.

Di Eropa, riset di National Library of Medicine menunjukkan bahwa scarring effect tidak seragam di semua kelompok. Studi yang dilakukan di Italia tersebut menemukan bahwa scarring effect lebih kuat di daerah dengan kondisi pasar tenaga kerja yang baik atau tingkat pengangguran rendah.

Sementara di Finlandia, anak-anak dewasa yang lahir dari keluarga dengan 20 persen pendapatan terendah, mengalami pengangguran dua kali lipat dan kerugian pendapatan 154 persen lebih tinggi setelah kehilangan pekerjaan dibandingkan mereka yang berasal dari 20 persen pendapatan teratas.

Makalah tersebut juga memuat peringkat pendapatan tahunan individu dengan membandingkan pendapatan seseorang terhadap seluruh populasi individu di Finlandia dalam kelompok kelahiran yang sama. Temuan ini membuktikan konsep bahwa waktu kelulusan atau birth-year cohort memengaruhi perjalanan karier tetap relevan, terutama di negara dengan pasar tenaga kerja yang kaku.

Pemulihan yang Tidak Merata
Tapi yang paling pelik adalah cara pemulihannya. Lulusan yang kurang beruntung mengejar ketertinggalan lewat mobilitas kerja, pindah ke perusahaan yang lebih besar dan bergaji lebih tinggi saat ekonomi mulai membaik. Kenaikan gaji terjadi saat pindah kerja, bukan karena naik jabatan di tempat lama.

Masalahnya, tidak semua lulusan punya peluang yang sama untuk melakukan peningkatan ini. Penelitian bertajuk "Scars of Youth Non-employment and Labour Market Conditions" menunjukkan bahwa scarring effect lebih kuat pada kelompok dengan latar belakang ekonomi lemah. Alasannya karena dalam skenario ini, keputusasaan individu meningkat ketika mereka menyadari bahwa mencari pekerjaan menjadi lebih sulit.

Mereka masuk ke pasar tenaga kerja yang menyusut tanpa jaringan atau dukungan finansial. Tanpa koneksi, mereka sulit bersaing untuk posisi yang langka dengan kandidat bejibun. Akibatnya, mereka kerap tersingkir oleh lulusan dari latar belakang lebih kuat yang turun mengambil pekerjaan menengah, mendorong kelompok rentan ke posisi yang lebih rendah atau bahkan keluar dari pasar tenaga kerja formal.

Sedangkan lulusan yang beruntung, mereka berasal dari kampus ternama dan jurusan populer seperti Sains, Teknologi, Rekayasa, dan Matematika (STEM), atau punya jaringan kuat bisa pulih lebih cepat di masa resesi, bahkan dalam empat tahun. Sesuatu yang tidak sepenuhnya tercakup dalam data Kahn. Sementara lulusan dari institusi biasa atau jurusan yang kurang diminati sering kali terjebak di perusahaan kecil dan sulit keluar.

Bahkan, kesenjangan pendapatan antarjurusan bisa melebar hingga sepertiga. Lulusan vokasi kadang lebih terlindungi, terutama jika keterampilan mereka langsung dibutuhkan dalam industri yang stabil seperti keperawatan atau teknisi. Sementara lulusan akademis yang lebih umum sering dianggap kurang siap pakai, sehingga lebih sulit masuk ke pasar tenaga kerja saat perusahaan sedang menghindari risiko.

Dengan demikian, resesi berfungsi sebagai katalis yang mengubah guncangan ekonomi sementara menjadi peningkatan ketidaksetaraan seumur hidup yang permanen.Ini menyingkap sebuah kebenaran yang tidak nyaman: kemampuan untuk pulih dari nasib buruk ternyata sangat bergantung pada keberuntungan yang sudah dimiliki sebelumnya.
Lain itu, identitas juga berperan. Di AS, misalnya, merujuk laporan Auburn University, lulusan kulit hitam mengalami lonjakan pengangguran yang jauh lebih tinggi dibanding lulusan kulit putih selama resesi. Ini menunjukkan bahwa faktor ras dan gender bisa memperparah dampak ekonomi.

Resesi tak hanya menghukum mereka yang kurang beruntung, tapi juga memperkuat ketimpangan yang sudah ada. Maka, kebijakan pendidikan yang hanya fokus pada akses belum cukup. Pemangku kebijakan juga perlu memastikan bahwa nilai dari pendidikan itu tak hilang begitu saja saat ekonomi goyah.

Realitas Lokal dan Jalan ke Depan
Lulusan berbagai perguruan tinggi di Indonesia selama krisis, khususnya pada tahun 1998 dan masa pandemi Covid-19, mengalami dampak yang signifikan namun dengan karakteristik dan konteks yang berbeda.

Pada krisis ekonomi 1998, Indonesia menghadapi pukulan besar berupa resesi terdalam sejak 1960-an yang menyebabkan lonjakan pengangguran secara menyeluruh, termasuk bagi lulusan perguruan tinggi.

Krisis ini juga menyebabkan banyak pekerja formal kehilangan pekerjaan dan beralih ke sektor informal atau pertanian untuk bertahan hidup. Penurunan upah riil mencapai sekitar 31 persen antara 1997-1999, dan dampak kemerosotan ini terasa hingga hampir satu dekade.

Sementara itu, masa pandemi Covid-19 membawa tantangan lain bagi lulusan baru di Indonesia. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan studi oleh Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) menunjukkan bahwa lulusan di masa pandemi (2020-2022) di Indonesia mengalami pola yang sejalan dengan temuan Lisa B. Kahn.

Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) lulusan perguruan tinggi mencapai 8-10 persen pada tahun 2021, dengan proporsi pengangguran dari lulusan perguruan tinggi terus meningkat dari 9,43 persen pada Februari 2023 menjadi 13,89 persen pada Februari 2025.

Berbeda dari negara Barat, pengangguran jangka panjang bukan pilihan realistis di Indonesia. Banyak lulusan terpaksa masuk ke sektor informal, kerja lepas, bantu usaha keluarga, atau jadi wirausahawan mikro. Meski menghasilkan pendapatan, pekerjaan ini tidak punya struktur, jenjang karier, atau perlindungan.

Namun, pemulihan di sektor digital dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) telah membantu sebagian lulusan Indonesia, menunjukkan adaptasi terhadap kondisi modern.

Era modern memiliki keunggulan dalam hal intervensi yang tidak tersedia pada masa penelitian Kahn. Stimulus ekonomi modern, pelatihan daring, dan program dukungan pemuda seperti Youth Guarantee di Eropa telah mengurangi dampak permanen krisis.

Program Youth Guarantee kini mencakup pemuda berusia 15-29 tahun dan menghadirkan tawaran berkualitas dalam bentuk pekerjaan, pendidikan lanjutan, magang, atau pelatihan dalam waktu empat bulan.

Indonesia melalui Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dengan total alokasi Rp695 triliun telah membantu mengurangi dampak melalui berbagai stimulus dan dukungan UMKM, mencakup perlindungan sosial, stimulus konsumsi, dan pemulihan sektor UMKM.

Kiwari, kondisi pasar tenaga kerja untuk lulusan kuliah global menunjukkan campuran antara harapan baru dan tantangan yang masih harus dihadapi. Konsekuensi jangka panjang lulus kuliah di masa ekonomi buruk tetap menjadi realitas yang relevan di era modern, meskipun intervensi teknologi dan kebijakan telah mengurangi sebagian dampaknya.
Platform digital dan pasar tenaga kerja daring telah mengubah lanskap pencarian kerja secara fundamental. Online Labour Index menunjukkan pertumbuhan 90 persen dalam proyek freelance online antara 2016-2021, dengan tingkat pertumbuhan tahunan 10 persen.

Laporan Future of Jobs 2025 dari World Economic Forum menyoroti bahwa pasar tenaga kerja sedang bertransformasi kuat, terdorong oleh kemajuan teknologi seperti kecerdasan buatan (AI), robotika, dan digitalisasi yang membuka kesempatan pada pekerjaan baru sambil menggeser posisi pekerjaan lama.

Meskipun ada tantangan ekonomi dan ketidakpastian global, tingkat pengangguran dunia pada 2025 tercatat cukup rendah di angka 4,9 persen, terendah sejak 1991, yang mengindikasikan stabilitas yang membaik secara umum.

Kondisi ini menunjukkan bahwa, meskipun masih ada hambatan struktural dan ketidakpastian, lulusan perguruan tinggi di era 2025 secara global, termasuk Indonesia, memiliki peluang untuk bangkit lebih cepat dibandingkan periode resesi ekonomi di era sebelumnya.

Terkini

Terpopuler