JAKARTA (RA) – Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) tahun ini menggelontorkan dana sebesar Rp705,6 miliar untuk program Beasiswa SDM Sawit. Program ini ditujukan bagi 4.000 mahasiswa dari keluarga petani sawit, pekerja, maupun penggiat sawit.
Namun, di balik besarnya alokasi dana, sejumlah petani sawit menyampaikan keluhan. Mereka mempertanyakan transparansi proses seleksi dan distribusi penerima beasiswa yang dinilai berbeda dari tahun-tahun sebelumnya.
Pengumuman penerimaan beasiswa kali ini hanya melalui akun masing-masing calon, tidak diumumkan secara terbuka seperti sebelumnya. Sehingga informasi peserta yang lulus dan asam daerahnya tidak dapat diakses oleh masyarakat luas.
Keluhan juga muncul soal sebaran penerima beasiswa yang dianggap tidak merata. Di Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan, yang dikenal sebagai sentra sawit, hanya enam mahasiswa yang berhasil memperoleh beasiswa. Sementara itu, penerima diduga didominasi mahasiswa dari Sumatera, Kalimantan, dan Jawa.
Menanggapi protes tersebut, Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO), Dr Ir Gulat Medali Emas Manurung, menegaskan bahwa keresahan petani merupakan bentuk kepedulian terhadap keberlangsungan program beasiswa.
"Protes itu bukan berarti kebencian, tetapi wujud kecintaan petani sawit pada spektakulernya manfaat Beasiswa SDM Sawit sejak 2017," ujar Gulat, Kamis (28/8/2025).
APKASINDO berencana melakukan audiensi dengan Direktorat Jenderal Perkebunan agar proses seleksi di tahun mendatang lebih adil dan transparan.
Namun, Gulat menekankan persoalan yang jauh lebih serius adalah keterlambatan pencairan biaya hidup mahasiswa penerima beasiswa. Ia mengungkapkan, dengan jumlah 23 kampus mitra pada tahun ajaran 2024 saja sudah banyak masalah, kini dengan 41 kampus di tahun 2025, dikhawatirkan permasalahan akan semakin parah.
"Biaya hidup itu seharusnya dibayarkan tiap awal bulan, sebesar Rp2,3 juta per mahasiswa. Tapi kenyataannya bisa tertunda 2–4 bulan. Anak-anak kami mau makan apa? Jangan sampai mereka busung lapar lalu masuk rumah sakit," tegasnya.
Ia menyebut, 88 persen penerima beasiswa berasal dari keluarga sederhana. Bahkan, ada kampus yang melarang mahasiswa penerima untuk melapor ke APKASINDO terkait keterlambatan pencairan.
Jika masalah keterlambatan terus berulang, APKASINDO berencana mengirim surat terbuka kepada Direktur Utama BPDP dan Komite Pengarah, bahkan mendesak pencopotan pihak terkait.
"Dana yang dikelola BPDP itu bukan dari APBN, melainkan dari keringat petani sawit akibat beban levy. Per Agustus ini harga TBS kami berkurang Rp308/kg karena levy. Tahun lalu, BPDP mengumpulkan hampir Rp35 triliun," pungkas Gulat.