Di Daerah Ini Banyak Wanita Poliandri

Di Daerah Ini Banyak Wanita Poliandri
Praktik poliandri di India. Seorang wanita diperbolehkan memiliki lebih dari 1 suami. Foto: Daily Mail

Riauaktual.com - Apa yang ada di benak Anda ketika mendengar kata poliandri? Yup benar, poliandri berarti wanita yang memiliki suami lebih dari 1 orang.

Di Indonesia, praktik poliandri memang menjadi hal haram dan terlarang dilakukan.

Dalam ajaran Islam juga melarang praktik praktik poliandri karena termasuk dalam zina.

Demikian juga di mata hukum negara dimana poliandri juga dilarang.

Aturan hukum menyebutkan, seorang wanita dilarang menikah lagi dengan pria lain jika ia masih terikat pernikahan dengan seorang pria.

Jika hal itu dilakukan, maka dianggap melanggar Pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Dengan demikian, wanita yang melakukan praktik poliandri, dipastikan bisa dikenakan pidana.

Bebeda dengan poligami yang sudah memiliki aturan jelas, baik secara hukum agama maupun hukum negara.

Dalam praktik poligami, seorang laki-laki diperbolehkan menikah lagi dengan wanita lain meski ia berstatus suami dari wanita lainnya.

Tapi tahukah Anda bahwa ada yang menganggap poliandri sebagai hal yang lumrah alias hal yang biasa.

Bahkan, praktik ‘berbagi’ istri dengan laki-laki lain ini sudah dilakukan sejak ratusan tahun lalu loh…

Praktik poliandri atau wanita dengan 2 suami atau lebih ini banyak terjadi di daerah Fujian dan Sichuan, China.

Di daerah ini, praktik poliandri bahkan sudah terjadi sejak 1700-an sampai 1900-an yang lampau.

Poliandri dilakukan karena jumlah wanita di China memang jauh lebih sedikit ketimbang jumlah laki-laki.

Kondisi itu diperparah dengan banyaknya petinggi kerajaan pada masa Dinasti Qing yang ‘mengoleksi’ wanita-wanita cantik.

Akibatnya, banyak pria jomblo yang tak kebagian wanita untuk dinikahi.

Di China, jumlah laki-laki berjumlah 33 juta orang, jauh lebih banyak ketimbang jumlah penduduk wanita.

Diperkirakan, jumlah kaum laki-laki dan wanita baru bisa seimbang antara tahun 2030 sampai 2050 mendatang.

Meski praktik poliandri sudah dilakukan sejak ratusan tahun lalu, tapi kekinian hal itu mulai bergeser.

Itu karena ada perubahan mind set penduduk setempat yang menganggap poliandri sebagai tindakan tidak bermoral.

Meski begitu, masih saja ada banyak wanita yang melakukan poliandri secara sembunyi-sembunyi.

Dikutip dari HuffPost, jejak poliandri di China itu diungkap sejarawan dari Universitas Stanford, Christopher Sommer.

Sommer mengungkap adanya praktik poliandri dari struktur keluarga petani di Tiongkok pada masa Dinasti Qing.

Seorang petani bernama Zheng Guoshun hidup bersama istrinya, Jiang Shi, di Provinsi Fujian pada pertengahan 1700-an.

Ketika Zheng tiba-tiba menjadi buta, sang istri meminta seorang pria muda bernama Jiang Yilang untuk hidup bersama pasangan tersebut.

Sebagai imbalan, Jiang Shi memberikan imbalan kepada Jiang Yilang dengan seks.

Selama hampir tiga dekade, hubungan di antara ketiganya berjalan baik-baik saja.

Setelah Zheng meninggal dunia, Jiang Shi dan Jiang Yilang melanjutkan pernikahan mereka.

Sommer juga mengungkap, meski banyak poliandri yang bertahan selama bertahun-tahun, tak sedikit pula yang berakhir tragis.

Beberapa pasangan saling bunuh karena dibakar api cemburu.

Menurut Sommer, kebanyakan wanita melakukan poliandri pada masa itu karena alasan ekonomi dan melindungi keluarga.

Antara 1700 dan 1850, populasi penduduk saat dinasti Qing meningkat tiga kali lipat.

Namun, lahan pertanian yang dibudidayakan hanya dua kali lipat. Akibatnya, terjadi kelaparan massal dimana-mana.

Selain itu, pembunuhan terhadap bayi perempuan pada masa itu masih sering dilakukan.

Hal ini menyebabkan jumlah pria lebih banyak dari kaum wanita.

Agar satu keluarga bisa bertahan hidup, mereka berusaha mencari suami kedua untuk menghasilkan pendapatan tambahan.

Dengan cara ini, kedua belah pihak mendapatkan untung.

Suami utama mendapatkan tambahan pendapatan, sementara suami kedua bisa mendapat keturunan yang akan merawatnya di hari tua.

Banyak dari hubungan ini diformalkan sesuai dengan kebiasaan pernikahan setempat.

Kedua suami juga biasanya melakukan sumpah persaudaraan dalam melindungi keluarga mereka.

Kesimpulan ini dibuat Sommer setelah menganalisis lebih dari 1.200 kasus hukum dari arsip pengadilan lokal dan pusat di China.

“Poliandri sangat tersebar luas dan hampir pasti lebih umum daripada poligami atau pergundikan yang disahkan dan dipraktekkan oleh elit Qing,” kata Sommer.

Di sisi lain, kebiasaan elit dinasti Qing untuk praktik pergundikan bukanlah sebuah rahasia.

Akan tetapi tetapi cerita tentang poliandri tetap sulit diketahui karena sebagian besar petani buta huruf.

Selain itu, poliandri juga tidak sesuai dengan aturan yang diterapkan dinasti Qing yang mengutamakan kesucian perempuan.

“Seorang wanita diharapkan hanya memiliki satu suami seumur hidup. Tetapi hanya sedikit orang biasa yang mampu menyesuaikan diri dengan visi kesucian absolutis ini,” kata Sommer.

“Faktanya adalah poliandri begitu luas. Tidak mungkin untuk menegakkan hukum melawan mereka dengan cara sistematis,” kata Sommer.

Menurut Sommer, beberapa wanita sangat puas dengan kehidupan dua suami.

Terlebih, wanita yang menentukan siapa yang berhak menjadi suaminya.

“Itu adalah cara bagi seorang wanita untuk merasionalisasi hubungannya dengan pria lain yang dia sukai,” jelasnya.

Seorang profesor Universitas Kansas, Keith McMahon mengatakan, selama bertahun-tahun, para sarjana menganggap kasus-kasus ini sebagai analisis yang menyimpang dan tidak layak, sehingga penelitian Sommer tentang masalah ini menjadi terobosan baru.

Sementara, di Desa Mankhera, sekitar 66 kilometer dari Alwar, Rajasthan, India, praktik poliandri juga dianggap sebagai hal yang lazim dilakukan.

Bahkan desa ini juga dikenal sebagai desa yang menerapkan praktik poliandri.

salah satu alasannya adalah lantaran kepemilikan lahan pertanian yang kecil, maka banyak laki-laki yang menjomblo.

Hasil survei baru-baru ini menyebutkan, ada sekitar 8,1 persen keluarga petani setidaknya memiliki 1 anggota keluarga laki-laki yang belum menikah.

Angka tersebut meningkat dari survei pada 2007. Saat itu tercatat hanya sekitar 5,7 persen saja.

Karena itu, masyarakat desa tersebut memberlakukan aturan memperbolehkan berbagi istri antara kedua saudara laki-laki dalam satu keluarga.

Hal ini dilakukan untuk menyelamatkan atau mempertahankan harta dan kekayaan keluarga petani tersebut agar tidak semakin habis karena banyak dibagikan di tiap generasi.

Di sisi lain, ada mind set bahwa kepemilikan atas lahan pertanian yang lebih besar adalah kebanggan yang lebih besar pula.

Dengan memiliki lahan pertanian sendiri, maka mereka tidak harus bekerja sebagai buruh tani yang tak memiliki lahan bertani.

Masyarakat setempat juga mempercayai, keluarga kecil yang tidak memiliki banyak keturunan akan membuat lahan pertanian tidak akan ‘habis’.

Jadi, bagaimana menurut Anda dengan praktik poliandri yang dilakukan di dua belahan dunia itu?

 

 

 

Sumber: Pojoksatu.id

Ikuti RiauAktual di GoogleNews

Berita Lainnya

Index