Riauaktual.com - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memastikan perjanjian reformasi sistem perpajakan global negara anggota G20 menguntungkan Indonesia. Salah satunya, Pemerintah bisa memungut pajak 100 perusahaan multinasional yang selama ini tidak tersentuh.
Niat Kemenkeu berburu pajak perusahaan multinasional ini seiring disepakatinya reformasi sistem perpajakan global oleh Negara-negara G20. Tercatat, ada 132 negara dari 139 negara anggota G20 sepakat dengan reformasi sistem perpajakan global tersebut.
Kesepakatan itu tertuang dalam perjanjian, Two-Pillar Solution to Address the Tax Challenges Arising From the Digitalisation and Globalization of the Economy. Salah satu yang disepakati adalah memajaki perusahaan multinasional, termasuk raksasa-raksasa teknologi.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Febrio Kacaribu mengatakan, kesepakatan tersebut mendorong Pemerintah memburu pajak di 100 perusahaan multinasional.
“Indonesia memiliki kesempatan untuk memperoleh tambahan pajak atas penghasilan dari setidaknya 100 perusahaan multinasional yang menjual produknya di Indonesia,” kata Febrio dalam keterangan resminya, kemarin.
Menurutnya, dalam kesepakatan yang tertuang dalam pilar pertama, Indonesia berkesempatan mendapatkan hak pemajakan atas penghasilan global yang diterima perusahaan multinasional.
Syaratnya, yakni perusahaan merupakan entitas berskala besar dengan omzet global di atas 20 miliar euro dan memiliki profit minimum 10 persen sebelum pajak.
Perusahaan-perusahaan tersebut, kata Febrio, selama ini tidak membayar pajak di Indonesia karena dalam sistem perpajakan yang lama, Pemerintah tidak memiliki wewenang menarik pajak dari perusahaan yang tidak memiliki kantor fisik atau Badan Usaha Tetap (BUT) di dalam negeri.
Sementara, lanjut Febrio, pada pilar kedua, perusahaan multinasional dengan nilai lebih kecil, yakni minimum omset konsolidasi 750 juta euro wajib membayar pajak penghasilan dengan nilai minimum 15 persen di negara domisili.
Febrio menilai, pilar kedua ini juga menawarkan peluang baru. Pemerintah diperbolehkan memajaki perusahaan multinasional yang berdomisili di dalam negeri, meskipun tarif pajak penghasilan efektifnya kurang dari 15 persen.
Dia melihat, kesepakatan pilar kedua ini bakal merombak sejumlah strategi Pemerintah menarik investasi. Terutama penghapusan insentif pajak untuk beberapa perusahaan.
Febrio optimistis, Indonesia bisa mengoptimalkan sumber penerimaan domestik lewat pemberlakuan aturan pajak global yang lebih adil. Menurutnya, selama ini kerugian potensi pajak negara-negara dunia akibat aksi penghindaran pajak diperkirakan sebesar 100-240 miliar dolar AS. Nilai ini setara 4-10 persen terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) global.
“Di Indonesia, laporan wajib pajak menunjukkan bahwa 37-42 persen PDB merupakan transaksi afiliasi. Bila dibiarkan, hal ini tentunya merugikan bagi perpajakan Indonesia,” tegasnya.
Ketentuan teknis kedua pilar tersebut, rencananya akan difinalisasi pada pertemuan menteri keuangan dan gubernur bank sentral negara-negara G20 bulan Oktober mendatang.
“Jika final, kesepakatan ini bakal ditandatangani tahun depan dan mulai berlaku efektif mulai 2023,” harap Febrio.
Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai, kesepakatan perpajakan internasional akan banyak menguntungkan Indonesia.
Fajry mengungkapkan, kesepakatan juga membuat potensi penerimaan pajak digital makin besar.
“Saya kira sudah tepat kalau mengikuti konsensus global. P
Apalagi, kata Fajry, perusahaan digital asing walaupun tak memiliki kantor di Indonesia tetap bisa ditarik pajaknya.
Ia menilai, pada 2023 potensi pajak digital dapat terus menggeliat. Terlebih beberapa perusahaan digital asing sudah diwajibkan untuk melaksanakan ketentuan pajak pertambahan nilai (PPN).
Sumber: RM.id
