Myanmar Bisa Jadi Negara Gagal di Asia, Diprediksi Bakal Seperti Afghanistan

Myanmar Bisa Jadi Negara Gagal di Asia, Diprediksi Bakal Seperti Afghanistan
Demonstran Lawan Polisi Pakai Senapan Angin dan Ketapel. ©2021 REUTERS

Riauaktual.com - Ketika para jenderal yang menguasai Myanmar menyusun sebuah konstitusi untuk membuka jalan bagi pemerintahan terpilih, meskipun tidak memiliki otoritas atas tentara, mereka menyebut pengaturan tersebut sebagai "demokrasi yang mengembangkan disiplin". Persaingan politik yang tidak terhalang, kata mereka, akan menyebabkan kekacauan dan menghambat pembangunan; hanya tentara yang bisa memastikan ketertiban dan kemakmuran. Tapi ironis, sejak tentara mengambil alih kekuasaan dalam kudeta 1 Februari, satu-satunya yang terjadi justru adalah kekacauan.

Unjuk rasa harian merupakan sebuah penolakan terhadap kudeta, walaupun intensitasnya mulai menyusut sejak tentara mulai menembak para demonstran yang tak bersenjata. Para tentara mengamuk di distrik-distrik, memukul dan membunuh serampangan, dan dilaporkan membebankan keluarga yang berduka biaya sebesar 120,000 kyat atau sekitar Rp 1,2 juta untuk membebaskan jenazah anggota keluarganya yang terbunuh.

Warga membakar toko-toko yang berkaitan dengan militer. Pemogokan melumpuhkan dunia usaha. Layanan publik terhenti.

Di wilayah-wilayah perbatasan, sekitar 20 kelompok bersenjata yang telah bertarung melawan pemerintah selama puluhan tahun memanfaatkan krisis ini untuk merebut pos militer atau menyita senjata. Tentara kemudian mengebom mereka, mendorong warga di perbatasan melarikan diri ke negara tetangga.

Singkatnya, Myanmar menjadi negara gagal. Demikian dikutip dari The Economist, Selasa (20/4).

Kevakuman sedang diciptakan di wilayah yang berbatasan dengan kekuatan terbesar Asia, China dan India itu. Negara ini akan dipenuhi dengan kekerasan dan penderitaan.

Meskipun Myanmar belum separah Afghanistan, negara ini segera menuju ke arah itu — sebuah peringatan serius tentang betapa sulitnya untuk menyatukan kembali sebuah negara. Kehancuran Myanmar bukan hanya bencana bagi 54 juta orang Burma; hal ini juga menciptakan risiko yang dapat mempengaruhi seluruh wilayah.

Mengekspor penderitaan

Daerah kantong yang dikendalikan gerilyawan Myanmar menghasilkan heroin dan merupakan pemasok metamfetamin terbesar di dunia. Negara ini juga mengekspor penderitaan.

Sembilan kamp pengungsi di perbatasan Thailand dipenuhi korban pertarungan antara militer dan kelompok etnis bersenjata seperti Tentara Pembebasan Nasional Karen (KNLA). Lebih dari 700.000 Rohingya, minoritas Muslim di negara bagian Rakhine, melarikan diri ke Bangladesh dari operasi militer pada 2017.

Ekspor terbaru adalah penyakit. Bulan lalu China menyegel Riuli, kota perbatasan, setelah tiga pengunjung Burma dites positif Covid-19.

Masalah-masalah ini akan memburuk sebelum sempat membaik. Tentara seolah-olah ingin meretas dan meledakkan para pengunjuk rasa agar menyerah.

Militer juga telah memperingatkan para demonstran bahwa mereka berisiko ditembak di kepala dan punggung — seperti yang telah dilakukan terhadap banyak orang. Korban tewas yang diketahui melebihi 700 orang, sejak kudeta 1 Februari.

Pada 9 April, tentara menembak mati lebih dari 80 orang di kota Bago. Para pengunjuk rasa menggunakan senjata darurat untuk melawan balik. Beberapa mengikuti pelatihan militer oleh milisi pemberontak di perbatasan. Di negara yang dipenuhi senjata, itu adalah resep untuk menumpahkan lebih banyak darah.

Sekelompok anggota parlemen terpilih yang melarikan diri dari penangkapan membahas pembentukan “tentara federal”, mencakup beberapa dari banyak milisi kelompok etnis. Yang terbesar dapat mengumpulkan 20.000 tentara yang dilengkapi dengan rudal anti-pesawat, artileri, dan pengangkut personel lapis baja.

Para pemberontak, bahkan jika mereka bertindak bersama, tidak memiliki daya tembak untuk menggulingkan tentara dan membatalkan kudeta. Tetapi tentara juga tidak dapat mengalahkan mereka, meskipun telah mencoba selama beberapa dekade. KNLA telah berperang dengan militer sejak 1949, menjadikannya sebagai perang sipil yang berlangsung paling lama di dunia.

Negara-negara yang menjauh

Tentara pada akhirnya berhasil menegaskan otoritasnya atas pusat negara, yang dihuni oleh Bamar, kelompok etnis mayoritas. Tapi aparatur negara akan hancur. Para pemungut pajak, guru dan dokter berbondong-bondong keluar dari pekerjaannya.

Ketika bank dibuka kembali, mereka pasti akan mengalami kerugian. Donor asing telah membekukan bantuan dan perusahaan asing telah menghentikan investasi.

Sebelum kudeta, Bank Dunia telah memprediksi ekonomi akan tumbuh hampir 6 persen tahun ini; sekarang diperkirakan akan menyusut 10 persen. Yang lain memperingatkan kontraksi 20 persen.

Negara tetangga khawatir. China ingin mencegah Covid-19 dan melindungi investasi strategis seperti jaringan pipa yang membawa minyak dan gas dari Teluk Bengal ke pedalaman. India menekan arus pengungsi dari pertempuran, mencoba mengusir mereka dan kemudian setengah hati menyetujui untuk menerima mereka.

Beberapa anggota ASEAN yang biasanya lepas tangan, ingin mengadakan pertemuan puncak untuk membahas kekacauan tersebut. Lalu ada campur tangan dari jauh. Rusia, tidak diragukan lagi merasakan kesempatan untuk menusuk Barat, telah mendukung para jenderal, mengirim wakil menteri pertahanannya ke Myanmar.

Amerika dan Inggris telah menjatuhkan sanksi untuk para jenderal senior dan perusahaan yang mereka kuasai. Tindakan seperti itu, meskipun disambut baik, tidak akan menentukan. Selama periode awal pemerintahan militer, tekanan Barat tidak banyak berpengaruh pada junta sebelumnya.

Satu-satunya pihak luar yang dapat mempengaruhi para jenderal adalah tetangga dekat Myanmar: China, India, dan negara-negara ASEAN, yang akan didekati para jenderal jika dijauhi Barat. Masalahnya adalah, semua negara ini telah menjauh. Selain menyuarakan keprihatinan tentang pengungsi atau virus corona, mereka cenderung meremehkan malapetaka sebagai urusan politik internal.

Urusan setiap orang

Itu hal yang picik. Membiarkan Myanmar mengalami kekacauan akan menyebabkan kesengsaraan bagi rakyat Burma biasa dan mengancam negara tetangga dengan narkoba, pengungsi, dan ketidakstabilan. Untuk menghindari itu, para negara tetangga harus mengadopsi pendekatan yang lebih berani dan lebih konstruktif.

Tidak ada negara yang harus mengakui kudeta tersebut; lebih banyak pihak harus menjatuhkan sanksi kepada petinggi militer dan bisnis mereka. ASEAN harus menangguhkan keanggotaan Myanmar. Embargo senjata harus diterapkan (China, India, dan Rusia saat ini merupakan pemasok terbesar).

Pihak luar harus menekan militer untuk membebaskan para tahanan politik termasuk Aung San Suu Kyi, pemimpin sipil yang digulingkan, dan mulai berdiskusi dengan pemerintah bayangan Suu Kyi yang beroperasi di dekat perbatasan Thailand; pemerintah Thailand harus menutup mata terhadap saluran informal yang digunakan untuk mendapatkan uang dan pasokan.

Hanya tekanan bersama yang dapat membuat para jenderal berbicara dengan warga sipil dan dengan demikian menempatkan Myanmar ke jalur yang tidak terlalu menghancurkan. Jika tidak, pilihannya adalah negara gagal di jantung Asia.

 

 

Sumber: Merdeka.com

Ikuti RiauAktual di GoogleNews

Berita Lainnya

Index