Gemohing, Tradisi Gotong Royong dalam Indahnya Syair & Pantun

Gemohing, Tradisi Gotong Royong dalam Indahnya Syair & Pantun
Gemohing (Foto: Ignasiun Suban Tukan)

Riauaktual.com - Istilah 'Gemohing' secara gramatikal diartikan sebagai aktivitas bersama sekumpulan orang untuk menjalankan satu kegiatan di dalam kampung. Kegiatan bersama itu dilakukan untuk membersihkan ladang, menanam, memanen, dan membangun rumah. 

Selain itu juga untuk pembangunan kantor desa, sarana sanitasi, air bersih, jalan, jembatan dan penguburan warga desa. Istilah Gemohing itu dalam perjalanan disamakan dengan tradisi gotong royong. Gemohing dapat diartikan sebagai gotong royong ala masyarakat Lamaholot.

Lamaholot itu sendiri adalah sebutan bagi masyarakat yang mendiami sejumlah daerah di Flores Timur, yaitu meliputi Flores Timur Daratan, Pulau Adonara, Pulau Solor, Pulai Lembata dan Pulau Alor-Pantar. 

Gemohing sebagai tradisi gotong royong dalam masyarakat Lamaholot, Nusa Tenggara Timur (NTT), sudah berlangsung ratusan tahun silam. Gemohing membantu masyarakat mengatasi kesulitan pekerjaan. Mereka bekerja sambil berpantun dan menyanyikan lagu-lagu tradisional. Tradisi gotong royong ini dilakukan dengan jumlah personel antara 10 hingga 50 orang. 

"Satu keluarga bisa mengirim 2 sampai 5 orang. Jenis pekerjaan tergantung dari kebutuhan anggota," kata seorang Warga Adonara, Frans Tokan.

 

Menurut dia tradisi gemohing di zaman lalu benar-benar memberi kemudahan bagi warga desa dan atau kampung, terutama bagi warga yang secara ekonomi miskin. Warga lainnya secara sukarela datang dan membantu membuka kebun atau kebutuhan masyarakat itu dengan tanpa bayaran. 

"Jadi kelompok gemohing itu secara sukarela datang tanpa biaya lalu bersama pemilik kebun membuka kebunnya," katanya memberi contoh. 

Dari aspek kemampuan, dengan luasan lahan di atas 1 hektare tidak mungkin dibersihkan sendiri. Dengan kelompok gemohing yang beranggotakan 40 sampai 50 orang ladang seluas itu bisa dibersihkan dalam sehari.

Dalam perjalanan, dengan perkembangan hidup saat ini, gemohing lalu juga merambah hingga ke sejumlah kegiatan masyarakat lainnya, misalnya membuka jalan kampung atau drainase kampung. "Namun sayang sekarang sudah mulai berubah orientasinya. Banyak kelompok gemohing yang mulai menerapkan tarif bagi sejumlah bantuan pekerjaan," katanya.

Anggota gemohing terdiri atas pria dan wanita, rata-rata berusia di atas 15 tahun. Jika ada yang mengutus anggota berusia di bawah 15 tahun, ketua Gemohing akan menolaknya bergabung. Hal ini dilakukan berkaitan dengan kemampuan dan keterampilan dalam bekerja. Risiko kecelakaan bagi anak-anak di bawah 15 tahun juga besar karena mereka belum terampil bekerja.

Gemohing dilakukan sambil berbalas pantun, bersyair dan menebak sesuatu yang tersembunyi di balik kata-kata. Setiap peserta gemohing wajib terlibat dalam berpantun, bersyair dan menebak. "Demikian indahnya kerja gemohing itu dan sangat menggambarkan nilai dan semangat kekeluargaan warga kampung," kata Frans Tokan. 

Dalam gemohing, orang dewasa biasanya suka dengan syair-syair tua yang bernilai mistis magis. Kalangan anak muda lebih memilih berbalas pantun berisi tentang cinta. Adapun kegiatan menebak dilakukan semua golongan usia. Sambil berolah kata, pekerjaan jadi terasa ringan. Sering kali adu syair dalam gemohing digunakan untuk menguji kemampuan ilmu gaib. 

Lawan yang tidak kuat bisa pusing mendadak, sakit perut, atau tidak sengaja melukai kaki tangan saat bekerja. Biasanya pria dewasa disuguhi minuman keras tradisional (tuak) guna memacu semangat bekerja dan bersyair. Adapun wanita menginang.

Lebih lanjut dia menuturkan, selain sebagai arena membantu warga lain, gemohing juga menjadi ajang mencari jodoh bagi kaum muda. Mereka bekerja sambil berbalas pantun, mengungkapkan rasa cinta kepada lawan jenis di gemohing. 

Namun, semua peristiwa yang terjadi dalam gemohing tak boleh melahirkan rasa dendam, jengkel, atau cemburu. Jika ada yang dendam dengan lawan bicara, ia akan dikenai denda atau bahkan bisa dikeluarkan dari keanggotaan. "Mereka percaya bahwa Dewi Bumi tidak akan memberi hasil ladang yang banyak kalau terjadi kebencian, kemarahan, dan dendam di antara para pekerja," ungkapnya.

Pada umumnya peserta gemohing diberi makan oleh pemilik kebun, ladang, atau sawah. "Namun, kadang peserta membawa makanan sendiri untuk meringankan beban pemilik ladang apalagi jika pemilik ladang adalah warga yang kurang mampu," katanya. 

Di titik ini, selain melambangkan gotong royong dan kebersamaan, gemohing adalah simbol dari kekuatan sosial masyarakat Lamaholot yang sejak dulu memilih hidup bersama sebagai saudara untuk saling membantu meringankan beban pekerjaan yang dialmi. 

"Itu artinya semangat itu penting harus terus diwariskan hingga keabadian demi menjaga nilai dan kekuatan sosial yang ada dan tumbuh dalam masyarakat di era globalisasi yang cenderung individualistis ini," katanya.

 

Seorang Warga Pulau Lembata Gabriel S Kotan mengaku, tradisi gemohing sampai saat ini masih terjaga dan dipakai dengan semangat lama tanpa bayar alias gratis. Warga Lodoblolong, Desa Lodotodo Kowa Lera Gere, Kecamatan Leba Tukan, Kabupaten Lembata itu mengatakan, gemohing sarat dengan makna kehidupan orang Lamaholot. Ada nilai gotong royong, persaudaraan, keadilan, hak asasi manusia, dan hukum adat. 

Berkaca kepada teori bahwa manusia diciptakan tidak sendiri dan mustahil hidup sendiri, maka seorang manusia membutuhkan seorang manusia lainnya. Dalam konteks itu, hukum adat akan menjadi dasar pijak keharmonisan antarsesama warga Lamaholot. Dari sisi itulah, tradisi gemohing ini setidaknya menjadi cerminan bagaimana masyarakat merekatkan kebersamaan membangun kehidupannya secara bersama, mencapai satu kesejahteraan yang menjadi cita-cita bersama. (Wan)

 

Sumber: Okezone.com

Follow WhatsApp Channel RiauAktual untuk update berita terbaru setiap hari
Ikuti RiauAktual di GoogleNews

Berita Lainnya

Index