Anak-anak Rohingya kini bisa bersekolah lagi

Anak-anak Rohingya kini bisa bersekolah lagi
Anak-anak Rohingya. ©REUTER

Riauaktual.com - Pada 2012 lalu, pemerintah Myanmar memberlakukan sistem pemisahan ras (apartheid) di Negara Bagian Rakhine yang sebagian besar berpenduduk warga Muslim Rohingya. Sejak itu, anak-anak Rohingya harus berjuang keras untuk memperoleh pendidikan.

Pemerintah hanya menyediakan sedikit bangunan sekolah di Rakhine sehingga anak-anak harus berdesakkan saat menjalani proses belajar. Ada 90 murid di tiap kelas yang kondisinya memprihatikan. Anak-anak itu tidak diberi perlengkapan seperti meja, kursi, buku pelajaran yang memadai. Bahkan, tenaga pengajar pun sangat terbatas di sana.

Karena kepadatan penduduk itu, anak-anak Rohingya hanya bisa sekolah sampai setengah hari. Sekolah juga memberlakukan dua sesi belajar, pagi dan sore. Para siswa tidak diizinkan untuk belajar Bahasa Bengali, bahasa yang menjadi dasar dari dialek Rohingya.

Saat pasukan militer melakukan operasi pembersihan yang diklaim untuk melawan Tentara Penyelamat Rohingya Arakan (ARSA) pada 25 Agustus lalu, hampir 700.000 warga Rohingya melarikan diri dari Rakhine ke Bangladesh. Mereka meninggalkan tanah kelahiran karena tentara Myanmar melakukan pembunuhan massal, pemerkosaan dan pembakaran rumah di desa-desa.

Dari ratusan ribu penduduk yang mengungsi, 450.000 di antaranya adalah anak-anak. Mereka menempuh perjalanan panjang dan sulit sebelum akhirnya tiba di Bangladesh. Sebagian besar anak-anak itu menderita trauma psikologis karena harus menyaksikan aksi kekerasan selama di tanah kelahiran. Banyak juga di antara mereka yang kehilangan orangtua maupun sanak saudara.

Organisasi bantuan di Bangladesh berusaha mengembalikan kondisi psikis anak-anak Rohingya yang mengungsi dengan cara menyediakan tempat aman untuk beristirahat dan bermain.

"Bermain adalah hal paling penting bagi anak-anak seusia mereka. Hal itu menjadi fondasi utama untuk mempelajari hal lainnya. Bermain juga bisa membantu mengurangi stres dan mengoptimalkan perkembangan otak anak," kata petugas perlindungan PBB untuk pengungsi (UNHCR), Marzia Dalto, dikutip dari laman Assia Correspondent.

Selain menyediakan arena bermain, Children on the Edge atau organisasi nirlaba untuk perlindungan anak-anak juga menyediakan sekolah bagi anak-anak pengungsi Rohingya.

Sebagaimana diketahui, sebagian anak-anak Rohingya tidak bisa mendapatkan pendidikan formal karena sistem apartheid yang diterapkan pemerintah. Namun dengan bantuan organisasi non-pemerintah ini, beberapa anak bisa mendapat kesempatan kembali bersekolah untuk mulai belajar hitungan dasar dan mengenal huruf.

Meski demikian, ada juga anak Rohingya yang pernah menjalani pendidikan formal. Beberapa di antaranya mampu membaca dan melakukan hitungan matematika sederhana. Namun mereka mengaku bahwa guru-guru mereka tidak datang secara teratur selama bersekolah, karena itu pelajaran yang mereka terima tidak maksimal.

Sejak 2010, Children on the Edge telah mendirikan 45 sekolah di kamp pengungsian Kutupalong, Cox's Bazar, Bangladesh. Selain sebagai tempat belajar, sekolah juga memiliki fungsi lain yakni menjadi tempat berlindung bagi anak-anak Rohingya.

"Sebagai guru, kita harus menunjukkan senyum setiap hari. Hal ini bisa membuat mereka merasa bahwa sekolah adalah tempat yang menyenangkan dan mereka akan berpikir untuk kembali ke sini esok harinya," ujar salah seorang guru bernama Ayasha.

"Kami tidak membicarakan tentang pengalaman mengerikan karena terlalu dini. Kami hanya mencoba untuk memberi tempat menyenangkan bagi mereka," tambahnya.

Selama di sekolah, anak-anak diajarkan menyanyi, membaca buku, membaca Alquran, memainkan permainan edukatif, hingga menggambar. Sejauh ini, kegiatan di sekolah sudah membuat anak-anak melupakan trauma mereka dan membuat orangtua tidak lagi mengkhawatirkan keselamatan anak mereka.

"Aku sangat suka guruku. Guru itu membiarkanku bermain sehingga aku tidak sedih lagi, Aku suka main lompat tali dan ini sangat menyenangkan untuk menghabiskan waktu. Guruku juga sering ikut main lompat tali," kata seorang anak berusia tujuh tahun bernama Safaya.

Children on the Edge sudah mulai membangun 150 ruang kelas baru untuk bisa menampung 8.400 anak Rohingya. UNICEF sendiri berencana untuk membangun 1.500 pusat pendidikan yang nantinya bisa menampung 200.000 anak. (Wan)

 

Sumber: merdeka.com

Ikuti RiauAktual di GoogleNews

Berita Lainnya

Index