Perlawanan Balik Setya Novanto Bidik Dua Pimpinan KPK

Perlawanan Balik Setya Novanto Bidik Dua Pimpinan KPK
Pelantikan pimpinan KPK. ©2015 Merdeka.com

Riauaktual.com - Dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Agus Rahardjo dan Saut Situmorang masuk dalam bidikan penegak hukum. Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyelidikan (SPDP) dari Bareskrim Polri telah diterbitkan. SPDP atas nama Agus dan Saut diterbitkan Bareskrim hanya satu hari setelah beredarnya SPDP baru Setya Novanto untuk kasus dugaan korupsi e-KTP yang tengah ditangani KPK.

Adalah Fredrich Yunadi, pengacara Ketua DPR Setya Novanto yang pertama kali memperlihatkan SPDP Agus Rahardjo dan Saut Situmorang. SPDP itu kelanjutan dari pelaporan Fredrich Yunadi dan seseorang bernama Sandi Kurniawan dengan nomor LP/1028/X/2017/Bareskrim.

Agus dan Saut dilaporkan pada Oktober 2017 atas dugaan tindak pidana membuat surat palsu dan menggunakan surat palsu dan penyalahgunaan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 253 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan atau Pasal 421 KUHP. Dalam SPDP itu, kata Fredrich, kasusnya sudah naik ke tahap penyidikan. Semua barang bukti sudah diserahkan.

"Dan saya harap dalam waktu tidak terlalu lama berkas ini bisa dilimpahkan ke kejaksaan dan segera disidangkan," ujar Fredrich di Bareskrim Polri di gedung Kementerian Kelautan Perikanan, Gambir,Jakarta Pusat, Rabu (8/11).

Fredrich mengatakan, dugaan surat palsu dan penyalahgunaan wewenang itu juga berkaitan dengan kasus e-KTP yang melibatkan kliennya. "Oh iya jelas semuanya (berkaitan). Suratnya banyak yang tidak benar. Karena saya yakin penyidik sudah dapatkan bukti autentik semua," ujarnya.

Dia menyebut SPDP dari Bareskrim terkait penyidikan Agus Raharjo dan Saut Situmorang sudah diteruskan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dari kasus ini, Fredrich ingin mengingatkan pimpinan KPK.

"Mereka (KPK) bertindak seolah-olah legislator padahal mereka hanya pelaksana hukum kadang mereka lupa daratan, Itu lah yang buat mereka terjerat masalah pidana," tegasnya.

"Yang penting sekarang begini, tidak ada kekebalan hukum di sini. Saya bisa buktikan bahwa ada pelanggaran yang dilakukan oleh oknum-oknum KPK," tambahnya.

Namun status kedua pimpinan KPK itu masih terlapor. Itu ditegaskan pihak Kejaksaan Agung. Jampidum Kejaksaan Agung Noor Rachmad membenarkan telah menerima SPDP. "Masih terlapor. Jadi ini sudah penyidikan. Hanya sedang dilengkapi alat bukti untuk menetapkan tersangka," katanya.

Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Setyo Wasisto membenarkan status kasus pelaporan Agus Rahardjo dan Saut Situmorang dinaikkan menjadi penyidikan terhitung mulai 7 November 2017. Dia juga menegaskan status Agus dan Saut bukan sebagai tersangka. Bareskrim telah melaksanakan penyelidikan dengan pemanggilan terhadap saksi ahli bahasa, tiga ahli pidana dan satu ahli hukum tata negara. "Terus yang kedua, melaksanakan gelar perkara dan habis itu baru penyidikan," ujar Setyo.

Penyalahgunaan kekuasaan yang dipersoalkan adalah pengajuan surat larangan bepergian keluar negeri terhadap Setya Novanto tanggal 2 Oktober 2017. Padahal sebelumnya putusan praperadilan nomor 97/pid.prap/2017 PN jaksel tangal 29 September 2017 memenangkan Setya Novanto dan penetapan tersangka dinyatakan tidak sah.

Sebelum melakukan pemanggilan dan pemanggilan terhadap Saut dan Agus, penyidik Polri akan terlebih dahulu melakukan pemeriksaan terhadap para saksi dan juga mengumpulkan beberapa alat bukti.

"Rencana tindak lanjut penyidik akan melakukan pemeriksaan terhadap para saksi dan akan mengumpulkan alat bukti lainnya. Kasus ini ditangani oleh penyidik dari Direktorat Tindak Pidana Umum (Dittipidum) Bareskrim Polri," ucapnya.

KPK langsung merespon. Juru bicara KPK Febri Diansyah mempertanyakan objek penyidikan dalam SPDP atas nama Agus Rahardjo dan Saut Situmorang. Menurutnya, SPDP tersebut tidak menjelaskan surat atau penyelewengan kekuasaan seperti apa yang disangkakan.

"Di surat yang diterima KPK tidak ada bunyi, tulisan, apapun informasi terkait objek apa yang di masalahkan," ujar Febri di gedung KPK.

Soal pengajuan surat pencekalan ke luar negeri, KPK memiliki kewenangan tersebut. Sesuai dengan pasal 12 UU 30 Tahun 2002 untuk memerintahkan instansi terkait mencegah seseorang keluar negeri. Begitu pula dari pihak imigrasi bisa melakukan pencekalan atas permintaan penegak hukum termasuk lembaga anti rasuah tersebut.

"Perlu dilihat kembali UU KPK dan UU Imigrasi, kami yakin dasar hukumnya kuat," tegasnya.

Meski begitu, KPK yakin polisi mengedepankan profesionalitas sebagai penegak hukum dalam pengusutan kasus ini. KPK bakal menghadapi kasus yang menjerat dua pimpinanya. Dia juga memastikan pengusutan kasus-kasus korupsi yang ditangani KPK tidak akan berhenti karena dua pimpinannya tejerat kasus hukum.

Sesuai amanat Pasal 25 UU Tindak Pidana Korupsi, upaya penyidikan tindak pidana korupsi didahulukan daripada tindak pidana umum. Dia yakin penegak hukum sudah memahami hal tersebut. Febri juga memastikan upaya penyelesaian kasus e-KTP tidak akan terganggu atas masalah tersebut.

"Terkait dengan kasus KTP elektronik kita jalan terus, ketika fakta fakta kita temukan, bukti kita temukan, kami tidak akan berhenti," ucapnya.

Meski begitu Febri mengakui ada sedikit kekhawatiran bila ada kekosongan kepemimpinan, upaya penanganan kasus bisa terganggu. Dia mencontohkan, saat kasus rekening gendut Polri.

"KPK punya sejarah yang tidak cukup bagus, sebenarnya terkait dengan pemberhentian pimpinan di tengah jalan, ketika sedang menangani kasus kasus besar. Kita berharap hal tersebut tidak terjadi lagi saat ini." (merdeka.com/wan)

Ikuti RiauAktual di GoogleNews

Berita Lainnya

Index