NASIONAL (RA) - Pasal makar yang tertuang dalam Pasal 107 KUHP adalah warisan pemerintah kolonial Belanda dan digunakan sebagai alat untuk membungkam kebebasan berpendapat.
"Pasal ini adalah pasal karet. Dalam sejarahnya pasal ini kerap digunakan untuk menangkap orang-orang yang melakukan kritik terhadap pemerintah," kata pengamat hukum, Muhammad Isnur seperti dikutip dari Rimanews, hari ini.
Pernyataan itu disampaikan Isnur untuk menanggapi penangkap sejumlah orang pada Jumat lalu, Yang sebagian diantaranya kemudian dituduh hendak melakukan makar.
Menurutnya, pasal makar yang sekarang digunakan di KUHP hanya diterjemahkan begitu saja tanpa melihat konteks dan semangat pembuatan pasal itu.
“Makar itu berasal dari bahasa Belanda ‘Aanslag’ atau dalam bahasa Inggris ‘Violent Attack’. Makna awalnya kekerasan fisik dalam perbuatan makar. Semangatnya ketika itu, perang,” kata Isnur.
Polisi telah menangkap 11 orang menjelang aksi “Bela Islam Jilid 3” pada Jumat lalu.
Mereka adalah mantan staf ahli Panglima TNI, Brigjen (Purn) Adityawarman Thaha, mantan kepala staf Kostrad Mayjen (Purn) Kivlan Zen, Ketua Solidaritas Sahabat Cendana Firza Huzein, aktivis politik Ratna Sarumpaet, calon wakil bupati Bekasi Ahmad Dhani, putri presiden pertama Presiden Soekarno, Rachmawati Soerkarnoputri, Sri Bintang Pamungkas, Eko, Jamran, Rizal Kobar, dan Alvin Indra.
Dari 11 orang itu, polisi membebaskan delapan orang, sementara Sri Bintang tetap ditahan dan dikenal pasal makar, sementara Rizal dan Jamran ditahan dan dikenakan Pasal 28 Undang-Undang ITE.
Tapi menurut Kepala Divisi Humas Mabes Polri, Irjen Boy Rafli Amar, meskipun tidak ditahan, tujuh orang yang dibebaskan juga dikenai Pasal 107 jo 110 jo 87 KUHP dan hanya Ahmad Dhani yang dikenai Pasal 207 KUHP tentang penghinaan kepada presiden.
Menurut Isnur, Pasal 107 KUHP terdiri dari dua ayat. Ayat pertama berbunyi,”Makar dengan maksud untuk menggulingkan pemerintah diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.”
Sedangkan, ayat ke dua berbunyi, “Para pemimpin dan pengatur makar tersebut dalam ayat 1, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.”
Tapi menurut mantan kepala Divisi Kaderisasi & Pengembangan Organisasi LBH Jakarta itu, definisi makar dalam pasal-pasal itu kabur alias tidak jelas.
"Penangkapan aktivis yang dituduh makar merupakan momentum tepat untuk merevisi pasal karet itu,” kata Isnur.
