Tak Jadi Rp 50.000 Per Bungkus, Ini Harga Baru Rokok di 2017

Tak Jadi Rp 50.000 Per Bungkus, Ini Harga Baru Rokok di 2017
Ilustrasi rokok.
EKONOMI (RA) - Belum lama ini, Masyarakat Indonesia dihebohkan dengan wacana kenaikan harga rokok menjadi Rp 50.000 per bungkus. Wacana ini berhembus dari hasil penelitian yang dilakukan Kepala Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Hasbullah Thabrany.
 
Hasbullan mengatakan, jumlah perokok akan berkurang drastis jika harga dinaikkan dua kali lipat atau maksimal Rp 50.000 per bungkus.
 
Berdasarkan survei yang dilakukannya pada 1.000 orang dalam periode Desember 2015 sampai Januari tahun ini, 72 persen responden mengatakan akan berhenti merokok jika harga di atas Rp 50.000 per bungkus. Sementara, 76 persen perokok setuju jika harga dan cukai rokok naik.
 
Hasbullah menambahkan, strategi penaikan harga rokok dalam menurunkan jumlah ahli isap sudah terbukti efektif di beberapa negara. Selain itu, tingginya jumlah perokok juga meningkatkan beban ekonomi dari sisi kesehatan.
 
Kementerian Kesehatan mencatat, Indonesia bakal rugi USD 4,5 triliun hingga 2030 akibat perokok. Kerugian tersebut didapat jika beban penyakit tidak menular seperti penyakit jantung, kanker, dan stroke tidak berkurang.
 
"30 persen iuran BPJS disalurkan untuk penyakit tidak menular, terutama penyakit akibat rokok. Ini anggaran yang cukup besar. Karena penyakit akibat rokok ini sangat mahal, maka klaim dari BPJS akan lebih besar," imbuhnya.
 
Wacana harga rokok di Indonesia yang naik hingga menjadi Rp 50.000 per bungkus kala itu terus menguat. Ketua DPR RI, Ade Komarudin mendukung wacana ini karena akan membantu Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
 
Menurutnya, wacana pemerintah yang ingin menaikkan harga rokok hingga dua kali lipat ini berpotensi meningkatkan penerimaan negara.
 
"Kalau dinaikkan harganya, otomatis penerimaan negara dari sektor cukai akan meningkat. Itu artinya, menolong APBN kita supaya lebih sehat di masa mendatang," kata Ade Komarudin seperti ditulis Antara, Sabtu (20/8).
 
Saat ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani telah menandatangani aturan kenaikan harga rokok yang berlaku 1 Januari 2017. Berapa kenaikannya?
 
Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati menandatangani Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 147/PMK.010/2016 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 179/PMK.011/2012 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau. Dalam beleid ini, selain menaikkan tarif cukai rokok rata-rata sebesar 10,54 persen, juga mengatur mengenai Harga Jual Eceran (HJE) rokok yang berlaku per 1 Januari 2017.
 
Dengan adanya PMK ini, maka tarif cukai yang ditetapkan kembali tidak boleh lebih rendah dari tarif cukai yang berlaku. Selain itu, harga jual eceran tidak boleh lebih rendah dari Batasan Harga Jual Eceran per Batang atau Gram yang berlaku atau ditulis dalam undang-undang.
 
"Ketentuan mengenai Batasan Harga Jual Eceran per Batang atau Gram dan Tarif Cukai per Batang atau Gram sebagaimana tercantum dalam Lampiran II (produk dalam negeri) dan Lampiran III (untuk hasil tembakau yang diimpor), mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2017," bunyi Pasal 2 ayat (2b,c) PMK tersebut seperti ditulis dalam situs Setkab, Senin (10/10).
 
Mengacu pada PMK tersebut, mulai 1 Januari 2017, harga jual eceran (HJE) rokok Sigaret Kretek Mesin (SKM) paling rendah adalah Rp 655 atau naik dari sebelumnya Rp590. Sedangkan rokok Sigaret Putih Mesin (SPM) paling rendah Rp 585 atau naik dari sebelumnya Rp 505. Untuk Sigaret Kretek Tangan (SKT) atau Sigaret Putih Tangan (SPT) paling rendah Rp 400 dan ini juga naik dari sebelumnya Rp 370. Sementara untuk Sigaret Kretek Tangan Filter (SKTF) dan Sigaret Putih Tangan Filter paling rendah Rp 655 dan ini juga naik dari sebelumnya Rp 590.
 
Adapun harga jual eceran terendah Sigaret Kretek Mesin (SKM) hasil tembakau yang diimpor ditetapkan Rp 1.120 dan harga jual eceran terendah SPM Rp 1.030. Untuk harga jual eceran terendah SKT atau SPT Rp 1.215 dan harga jual eceran terendah SKTF dan SPTF adalah Rp 1.120.
 
Pertimbangan pemerintah menaikkan tarif cukai rokok dan harga jual eceran rokok hasil tembakau adalah dalam rangka meningkatkan pengendalian konsumsi barang kena cukai berupa hasil tembakau dan memperhatikan potensi penerimaan di bidang cukai hasil tembakau yang berkesinambungan.
 
"Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan," bunyi Pasal II ayat 3 PMK Nomor 147/PMK.010/2016 yang diundangkan oleh Dirjen Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM Widodo Ekatjahjana pada 4 Oktober 2016 itu.
 
Produsen rokok mengeluhkan kenaikan harga yang terbilang sangat tinggi ini. Kebijakan ini hanya akan membuat industri dalam negeri mati.
 
Ketua Umum Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gapprindo), Muhaimin Moeftie mengeluhkan kebijakan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang menaikkan tarif cukai rokok rata-rata sebesar 10,54 persen dan kenaikan Harga Jual Eceran (HJE) yang berlaku per 1 Januari 2017.
 
Menurut Muhaimin, kenaikan ini terlalu tinggi dan memukul industri rokok, khususnya grup Sigaret Putih Mesin (SPM). Dalam rincian hitungannya, cukai SPM naik 12 persen dan harga per batang bisa naik 10 persen. Muhaimin mengatakan, kenaikan cukai sebaiknya mengikuti inflasi yaitu hanya 6 persen.
 
"Sekarang industri saja sudah stagnan, kasih kita nafas dulu-lah. Kalau menurut saya 6 persen itu kita masih bisa imbangi," ucapnya ketika dihubungi merdeka.com di Jakarta, Senin (10/10).
 
Kenaikan cukai dan HJE diakui akan memukul daya saing industri dalam negeri. Parahnya lagi, dalam 2 tahun terakhir volume industri masih stagnan dan tidak ada perkembangan. "Setelah naik ini, kita masih bisa stagnan itu sudah sangat bagus."
 
Muhaimin mengakui, kenaikan rokok dalam aturan tersebut sangat tinggi. Belum lagi ditambah biaya lain lain yang terus bergejolak seperti Upah Minimum Regional (UMR) dan lain sebagainya.
 
"Kenaikan harga ini tinggi, belum lagi ada kenaikan biaya biaya UMP, UMR, bahan baku. Volume industri stagnan dan prospek itu akan terus tergerus," tutupnya.
 
Meski demikian, berapa sebenarnya kenaikan harga rokok untuk 2017?
 
Ketua Umum Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gapprindo), Muhaimin Moeftie merinci, kenaikan cukai rokok Sigaret Putih Mesin (SPM) seperti Marlboro sebesar 12 persen dan Sigaret Kretek Mesin (SKM) naik 10 persen. Sedangkan harga jual eceran SPM dipatok naik dari sebelumnya Rp 505 menjadi Rp 585 per batang.
 
"Meskipun SPM lebih murah tapi kan sebungkusnya itu ada 20 batang," kata Muhaimin ketika dihubungi merdeka.com di Jakarta, Senin (10/10).
 
Muhaimin menjelaskan cara menghitung kenaikan harga rokok yang berlaku di awal tahun nanti. Sebagai contoh, Harga jual rokok eceran terendah SPM seperti Marlboro saat ini dipatok Rp 18.500 dengan cukai Rp 495 per batang.
 
Jika dihitung dari kenaikan Harga Jual Eceran (Rp 585 - Rp 505) maka hasilnya Rp 80 per batang. Jadi, kenaikan harga per bungkus dari kenaikan HJE saja adalah ( Rp 80 x 20 batang) Rp 1.600 per bungkus.
 
Kemudian, dari hitungan cukai SPM yang naik 12 persen maka kenaikan harga per batang adalah 12 persen x Rp 585 (harga eceran terendah) adalah Rp 70,2 per batang. Dengan kenaikan cukai SPM sebesar Rp 70,2 per batang, maka cukai rokok SPM Marlboro tahun depan menjadi Rp 562 per batang. Dengan perhitungan ini, kenaikan cukai sebungkus rokok Marlboro (Rp 70,2 X 20 batang) yaitu Rp 1.404 per bungkus.
 
Hitungan kasarnya, harga rokok Marlboro akan naik Rp Rp 3.004 per bungkus di awal tahun nanti. Besaran tersebut diperoleh dari kenaikan HJE sebesar Rp 1.600 ditambah kenaikan cukai per bungkus Rp 1.404.
 
"Per bungkus itu rokok putih isinya 20 batang."
 
"Kenaikan harga cukup tinggi, belum ada lagi ada kenaikan biaya-biaya seperti UMP, UMR, bahan baku naik volume juga," tutupnya. (merdeka.com)
Ikuti RiauAktual di GoogleNews

Berita Lainnya

Index