RIAUAKTUAL (RA) - Gelatin menjadi bahan penting dalam berbagai produk makanan, mulai dari agar-agar, permen, jelly, hingga es krim. Fungsipun beragam, bisa sebagai pengental, pengemulsi, hingga pembuat busa. Di bidang farmasi, gelatin juga berperan besar, terutama dalam pembuatan cangkang kapsul keras maupun lunak.
Di Indonesia sendiri, kebutuhan gelatin sebagian besar masih dipenuhi dari impor. Dikutip dari Jurnal IPB, berdasarkan data BPS pada 2023, Indonesia telah mengimpor 2,45 juta kilogram gelatin dengan nilai mencapai 20,77 juta dolar AS.
Masalahnya, sebagian gelatin impor berasal dari hewan seperti sapi atau babi, sehingga menimbulkan keterbatasan dalam aspek agama, sosial, maupun kesehatan.
Menjawab tantangan tersebut itulah, peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) pun mengembangkan gelatin dari kulit ikan nila. Menurut Bakti Berlyanto Sedayu, Periset Pusat Riset Teknologi dan Proses Pangan BRIN, pemilihan ikan nila bukan tanpa alasan.
Indonesia merupakan salah satu pengekspor filet nila terbesar di dunia, tetapi limbah kulitnya sering terbuang begitu saja. Padahal, ikan nila dikenal cepat tumbuh dan bisa dipanen hanya dalam waktu empat bulan dengan bobot 300–500 gram.
"Riset ini berpotensi dikomersialisasi untuk mengurangi ketergantungan impor gelatin, khususnya gelatin halal, sekaligus mendukung blue economy melalui pemanfaatan hasil samping produksi perikanan dengan cara yang ramah lingkungan," kata Bakti dikutip dari laman media sosial BRIN.
Gelatin dari kulit ikan nila juga mampu membentuk film berkualitas yang aman dikonsumsi. Artinya, ada potensi besar untuk mengembangkannya sebagai kemasan ramah lingkungan (edible packaging) pengganti plastik sintetis.
Keunggulan lain untuk inovasi kali ini terletak pada teknologi yang digunakan, yaitu sonikasi. Jika cara konvensional membutuhkan larutan kimia asam dalam jumlah besar dan berisiko mencemari lingkungan, sonikasi memanfaatkan gelombang ultrasonik untuk memecah protein kolagen menjadi gelatin.
Hasilnya pun tetap sama dengan metode lama, tetapi prosesnya lebih cepat, hemat energi, minim bahan kimia, dan jauh lebih ramah lingkungan.
Teknologi ini bahkan sudah dipatenkan dengan nomor P00202411116. Dengan metode sonikasi, gelatin dari kulit ikan nila tak hanya lebih ekonomis, tapi juga halal.
Inovasi pembuatan gelatin halal dari bahan hewani sebenarnya sudah beberapa kali dilakukan di Indonesia. Pada tahun 2017, misalnya, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta memperkenalkan gelatin halal yang dibuat dari kulit kambing etawah. Produk ini dikembangkan khusus untuk bahan cangkang kapsul obat.
Setahun kemudian, pada 2018, giliran IPB University yang melakukan riset serupa.
Mereka memanfaatkan kulit ikan tuna untuk diolah menjadi gelatin, lalu digunakan sebagai bahan dasar kapsul keras.
Menurut Mala Nurilmala, dosen dari Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, salah satu syarat bahan untuk kapsul keras adalah harus mudah larut dalam tubuh.
Penelitian ini juga menunjukkan bahwa gelatin dari kulit ikan tuna tetap memenuhi standar kapsul komersial. Dengan konsentrasi 20%, produk yang dihasilkan memiliki kualitas terbaik, mulai dari ukuran, bobot, hingga daya hancur yang sesuai standar. Bahkan, waktu hancur kapsul hanya sekitar empat menit, dengan pH dan kadar air yang masih berada dalam kisaran aman.
