PEKANBARU (RA) - Sidang lanjutan perkara tindak pidana korupsi (Tipikor) dengan terdakwa Risnandar Mahiwa, Indra Pomi Nasution, dan Novin Karmila kembali digelar pada Selasa, 22 Juli 2025.
Dalam sidang yang berlangsung di Pengadilan Tipikor Pekanbaru tersebut, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghadirkan saksi ahli, Guru Besar Hukum Acara Pidana, Prof. Dr. Ibnu Nugroho.
Dalam keterangannya, Ibnu menegaskan setiap bentuk gratifikasi yang diterima oleh penyelenggara negara pasti memiliki maksud tertentu, meskipun tidak selalu diungkapkan secara langsung oleh pemberi.
“Penerima (gratifikasi) harusnya introspeksi diri. Tidak mungkin ujuk-ujuk menerima sesuatu lalu menganggap itu rezeki anak saleh, nggak ada itu. Pasti ada sesuatu di balik pemberian itu,” tegas Ibnu saat memberikan keterangan secara virtual.
Pernyataan itu muncul sebagai respons atas pertanyaan JPU terkait gratifikasi yang diterima oleh terdakwa Risnandar maupun Indra Pomi. Dalam sidang sebelumnya, sejumlah saksi termasuk pimpinan Organisasi Perangkat Daerah (OPD), mengaku menyerahkan uang secara sukarela kepada Risnandar tanpa permintaan langsung.
Namun menurut Ibnu, hal itu tidak menghapuskan potensi pidana. “Tidak mungkin seorang bawahan memberikan hadiah dengan nilai besar kepada pejabat tinggi seperti wali kota atau Sekda tanpa maksud apa-apa. Selalu ada potensi hutang budi di sana,” katanya.
Ibnu menyoroti pentingnya kewajiban pelaporan gratifikasi bagi pejabat negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
“Setiap uang atau barang yang diterima oleh penyelenggara negara harus dilaporkan ke KPK paling lambat dalam jangka waktu 30 hari kerja,” tegasnya.
Ia juga menyentil sikap diam Risnandar yang tidak melaporkan uang dalam jumlah besar yang diterimanya.
“Jangan seakan-akan itu hak atau rezeki yang sah. Ada aturan, ada batasan. Kalau tidak dilaporkan, itu bisa masuk ranah pidana,” lanjut Ibnu.
#Hukrim
#PJ Wali Kota Pekanbaru
