Pacu Jalur, Warisan Budaya Kuantan Singingi di Riau yang Mendunia

Pacu Jalur, Warisan Budaya Kuantan Singingi di Riau yang Mendunia
Pacu Jalur di Kabupaten Kuantan Singingi, Provinsi Riau.

KUANSING (RA) - Pacu Jalur bukan sekadar lomba perahu panjang di sungai. Ia adalah warisan budaya yang telah mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing), Provinsi Riau.

Tradisi ini bukan hanya soal adu cepat di atas air, melainkan juga menyimpan sejarah panjang yang sarat nilai, makna, dan kebanggaan kolektif masyarakat lokal.

Dari berbagai sumber yang dirangkum Riauaktual.com, Pacu Jalur diperkirakan telah ada sejak awal abad ke-17.

Tradisi ini lahir di sepanjang aliran Sungai Kuantan, yang sejak lama menjadi urat nadi kehidupan masyarakat Kuansing.

Pada masa kerajaan-kerajaan Melayu dahulu, jalur (sebutan lokal untuk perahu panjang) digunakan sebagai sarana transportasi utama, baik untuk kegiatan sehari-hari, perdagangan, maupun keperluan upacara adat dan keagamaan.

Seiring waktu, penggunaan jalur mengalami transformasi. Ia tidak lagi sekadar alat transportasi, tetapi menjadi simbol kejayaan dan kekompakan kampung.

Pacu Jalur pertama kali dijadikan ajang perlombaan pada masa pemerintahan kolonial Belanda, sekitar tahun 1901.

Kala itu, lomba perahu ini diselenggarakan untuk memperingati hari besar kerajaan atau hari besar nasional, seperti ulang tahun Ratu Wilhelmina.

Setelah Indonesia merdeka, Pacu Jalur berkembang menjadi agenda tahunan yang digelar dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Republik Indonesia setiap bulan Agustus.

Pemerintah Kabupaten Kuantan Singingi kemudian menjadikannya festival budaya tahunan yang menarik ribuan pengunjung, baik dari dalam maupun luar negeri.

Pacu Jalur bukan hanya olahraga rakyat. Ia merupakan representasi dari nilai-nilai kearifan lokal, seperti gotong royong, sportivitas, solidaritas, dan kecintaan terhadap tanah air.

Proses pembuatan jalur melibatkan seluruh elemen masyarakat (dari penebangan kayu, pemahatan, hingga pelatihan dayung) semuanya dilakukan secara bersama-sama dan penuh semangat kebersamaan.

Satu jalur biasanya memiliki panjang antara 25 hingga 40 meter dan dapat memuat hingga 60 pendayung.

Sebelum bertanding, setiap tim biasanya melakukan ritual adat dan doa bersama, sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur dan permohonan keselamatan.

Pacu Jalur telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2014.

Festival ini juga menjadi salah satu dari 10 besar agenda pariwisata nasional yang masuk dalam kalender "Kharisma Event Nusantara" Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf).

Tak hanya menjadi ajang wisata budaya, Pacu Jalur juga menjadi medium promosi daerah, mendorong pertumbuhan ekonomi lokal melalui sektor pariwisata, UMKM, dan seni pertunjukan tradisional seperti randai dan zapin yang biasanya turut meramaikan festival ini.

Meski telah mendunia, Pacu Jalur tidak luput dari tantangan. Modernisasi dan minimnya regenerasi pendayung muda menjadi perhatian tersendiri.

Oleh karena itu, pemerintah daerah bersama tokoh adat dan pemuda aktif menggelar pelatihan dan sosialisasi untuk memastikan tradisi ini terus hidup dari generasi ke generasi.

Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kuansing juga terus mengupayakan inovasi dalam penyelenggaraan festival, termasuk digitalisasi promosi dan kerja sama dengan berbagai pihak untuk menjaga keberlangsungan Pacu Jalur.

Pacu Jalur lebih dari sekadar tradisi, ia adalah denyut nadi kebudayaan masyarakat Kuantan Singingi.

Dengan semangat pelestarian dan inovasi, warisan leluhur ini diharapkan tetap bergema di tengah derasnya arus zaman, menjadi jati diri dan kebanggaan yang terus lestari di Bumi Lancang Kuning.

#PACU JALUR #Kuansing #PARIWISATA

Follow WhatsApp Channel RiauAktual untuk update berita terbaru setiap hari
Ikuti RiauAktual di GoogleNews

Berita Lainnya

Index