Satgas PKH Sita 1 Juta Hektar Kawasan Hutan, Laskar Prabowo Riau Minta Penertiban Tetap Junjung Asas Keadilan

Satgas PKH Sita 1 Juta Hektar Kawasan Hutan, Laskar Prabowo Riau Minta Penertiban Tetap Junjung Asas Keadilan
Ketua Laskar Prabowo Provinsi Riau, Apul Sihombing.

PEKANBARU (RA) – Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) yang dibentuk Presiden Prabowo Subianto melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2025 mencatat capaian signifikan.

Hingga Juni 2025, lebih dari 1 juta hektare kawasan hutan berhasil dikuasai kembali oleh negara. Namun, langkah tegas ini juga menuai catatan penting dari Ketua Laskar Prabowo Provinsi Riau, Apul Sihombing, S.H., M.H.

Dalam keterangannya, Apul menekankan bahwa penertiban kawasan hutan harus tetap memegang prinsip keadilan dan kepastian hukum. Ia mengingatkan bahwa dalam negara hukum, setiap warga negara berhak mendapatkan proses peradilan sebelum dinyatakan bersalah.

"Kegiatan penertiban lahan harus memperhatikan asas presumption of innocence. Tak bisa serta-merta masyarakat yang membuka lahan dalam kawasan hutan langsung dianggap bersalah tanpa proses hukum," ujar Apul kepada riauaktual.com, Rabu (11/6/2025).

Satgas PKH dibentuk dengan melibatkan Kementerian Pertahanan sebagai Ketua Pengarah, dibantu oleh Panglima TNI, Kapolri, dan Jaksa Agung. Tugas pokok dan fungsi Satgas ini dijabarkan dalam Pasal 3 Perpres.

Yakni melakukan penagihan denda administratif, melakukan penguasaan kembali kawasan hutan, dan melakukan pemulihan aset negara.

Hingga pertengahan 2025, Satgas berhasil menertibkan total 1.019.611,31 hektare lahan dari target 3 juta hektare. Adapun sebaran lahan yang telah disita tersebar di berbagai provinsi.

Di antaranya Kalimantan Tengah 400.816,53 hektar, Riau 331.838,67 hektar, Kalimantan Barat 153.359,44 hektar, Kalimantan Timur 26.185,84 hektar, Kalimantan Selatan: 30.516,21 hektar, Sumatera Utara 22.559,47 hektar, Sumatera Selatan 25.601,12 hektar, Jambi 14.836,59 hektar dan Sumatera Barat 3.897,44 hektar.

Apul menyatakan, meskipun penertiban kawasan hutan penting, pendekatannya harus tetap mengedepankan sisi kemanusiaan. Ia mencontohkan, seperti dalam kasus pidana lainnya, sekalipun bukti dan pengakuan sudah ada, seseorang tidak bisa langsung dihukum tanpa proses pengadilan.

"Contoh sederhana: jika seorang pengemudi menabrak pejalan kaki hingga meninggal, walau ada saksi dan barang bukti, pelaku tetap harus melalui proses peradilan terlebih dahulu. Sama halnya dengan masyarakat yang berkebun dalam kawasan hutan tanpa izin. Tidak bisa langsung disalahkan begitu saja," jelasnya.

Menurut Apul, aturan yang melarang aktivitas perkebunan dalam kawasan hutan memang tertuang dalam UU No. 41 Tahun 1999 jo. UU Cipta Kerja No. 6 Tahun 2023. Namun, penindakan tidak bisa dilakukan secara sepihak tanpa putusan pengadilan.

Ia juga menyoroti pentingnya pertimbangan sosiologis dan asas kebangsaan dalam menyikapi kasus-kasus penguasaan kawasan hutan oleh masyarakat kecil.

"Kalau semua pelanggar harus dipidana dulu baru lahannya ditertibkan, negara bisa terlihat kejam. Harus ada ruang dialog dan edukasi kepada masyarakat. Sosialisasi dulu, berikan mereka kesempatan memahami dan membela haknya," ujarnya.

Sebagai solusi, Apul mendorong Satgas PKH agar mengedepankan pendekatan persuasif. Ia menyarankan agar masyarakat diberi dua opsi: memilih jalur hukum pidana atau menyepakati pengembalian lahan secara sukarela.

"Prinsip bahwa setiap Warga Negara Indonesia berhak memiliki hak atas tanah. Asas ini memberikan prioritas kepada warga negara dalam kepemilikan aset agraria," tutup Apul.

Follow WhatsApp Channel RiauAktual untuk update berita terbaru setiap hari
Ikuti RiauAktual di GoogleNews

Berita Lainnya

Index