Riauaktual.com - Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia menilai kelangkaan minyak goreng terjadi akibat kurangnya antisipasi dari pemerintah. Seharusnya, pemerintah melibatkan Perum Bulog untuk memenuhi kebutuhan minyak goreng dalam negeri.
"Pemerintah kita melalui BUMN yang bernama Bulog itu, disiapkan untuk melakukan kesigapan pangan secara nasional," katanya. kata Fahri Hamzah, Wakil Ketua Umum Partai Gelora dalam Gelora Talk bertajuk 'Minyak Goreng Langka, Ada Apa?', Rabu (16/2/2022)
Selain itu, Fahri menyarankan pemerintah membuat suatu regulasi yang kuat terkait dengan kebutuhan pokok dalam negeri. "Pemerintah harus meramu keputusan agar kita memiliki daya tahan yang kuat dari sektor pangan terutama barang-barang konsumsi yang strategis ini. Sehingga masyarakat tidak terus menjadi korban ketidakstabilan," katanya.
Fahri kembali menegaskan, minyak goreng adalah kebutuhan pokok masyarakat yang akan berefek domino pada kebutuhkan pokok lainnya. Kebutuhan pokok saat ini, kata dia, menjadi problem struktural yang tidak diselesaikan pemerintah Indonesia.
"Tentu (kelangkaan ini) punya efek dan berkaitan dengan produk-produk lainnya atau kegiatan-kegiatan di sektor lainnya, seperti rumah tangga maupun bidang industri," ujarnya.
Karena itu, Fahri heran dengan kelangkaan minyak goreng di Indonesia. Sebab, kelapa sawit sebagai bahan baku produk tersebut diproduksi secara masif dan surplus di tanah air. "Kenapa barang yang kita produksi dalam jumlah yang masif dan surplus justru mengalami kerawanan tadi," katanya.
Ketua Umum Aliansi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (Appsindo) Hasan Basri mengatakan, upaya pemerintah untuk menurunkan harga minyak goreng dan kelangkaannya di pasaran, hanya bertujuan menekan kegaduhan saja.
"Ini hanya siasat menekan kegaduhan, kita disuapi sedikit digunakan untuk mengurai kegaduhan. Sementara permintaan banyak, pemasokan terbatas, sehingga menimbulkan kelangkaan," kata Hasan Basri.
Hasan menolak pedagang disalahkan dalam hal kelangkaan minyak goreng, apalagi sampai ada tuduhan melakukan penimbunan. Padahal ada pasokan yang dibatasi, sehingga tidak berimbang dengan permintaan, akibatnya barang langka atau sulit ditemukan.
"Minyak goreng mahal itu yang dipermasalahkan pedagang, sementara kita pedagang itu kan hanya menjual dengan keuntungan yang sangat tipis. Jadi kalau kita sebagai pedagang tidak akan mungkin menyetok minyak goreng yang berlebihan, artinya hari ini paling 2, 3 hari stok kita habis lalu belanja lagi," katnya.
Akibat permasalahan ini, Hasan cerita banyak pelanggan pasar tradisional lebih memilih membeli minyak goreng di ritel modern. Sebab barang dan harga di ritel moden lebih pasti yakni sebesar Rp 14.000/liter.
Dengan adanya kelangkaan minyak goreng di pasar tradisional, para konsumen memburu pasar-pasar modern seperti Alfamart, Indomaret, dia lebih suka berbelanja ke sana. Ini tentu menjadikan kita pasar tradisional kehilangan pelanggan akibat diskriminatif pemerintah dalam menentukan (harga) minyak goreng," tuturnya.
Tidak sedikit juga pelaku ritel modern disebut memanfaatkan momentum ini untuk menarik konsumen dari pasar tradisional. Pemerintah diharapkan memberikan perlindungan kepada pelaku pasar tradisional yang notabene adalah rakyat kecil.
"Namun sepertinya tidak seperti itu yang kami rasakan di lapangan. Lagi-lagi ritel modern yang dimiliki kapitalis-kapitalis besar itu mengambil peran pasar tradisional dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Ini efeknya sangat buruk bagi kita pasar tradisional," katanya.