Menteri Pertahanan Amerika Serikat Sebut Krisis Rohingya Lebih Buruk Dari Yang Dikabarkan Media

Rabu, 24 Januari 2018 | 12:50:40 WIB
Seorang pengungsi Rohingya menggendong bayinya, berumur 40 hari, yang tewas setelah kapalnya tenggelam. Foto/Reuters/Mohammad Ponir Hossain

Riauaktual.com - Penderitaan Muslim Rohingya di Myanmar lebih buruk daripada yang telah digambarkan oleh media. Begitu yang dikatakan Menteri Pertahanan Amerika Serikat (AS), Jim Mattis.

Pernyataan Mattis ini seolah membantah klaim pemerintah Myanmar dibawah penerima Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi. Myanmar menyebut pers internasional telah bias dalam liputannya mengenai apa yang AS dan PBB sebut sebagai kampanye pembersihan etnis.

"Ini adalah tragedi yang lebih buruk dari apa yang CNN atau BBC telah mampu menggambarkan tentang apa yang telah terjadi pada orang-orang ini," kata Mattis kepada wartawan saat melakukan perjalanan ke Indonesia. 

"Dan Amerika Serikat telah terlibat penuh semangat dalam bidang diplomatik yang berusaha menyelesaikan ini, terlibat dengan bantuan kemanusiaan, banyak uang masuk ke bantuan kemanusiaan," imbuhnya seperti disitir dari Time, Rabu (24/1/2018).

Menurut Organisasi Internasional untuk Migrasi sekitar 688 ribu orang Rohingya telah mengungsi ke Bangladesh sejak 25 Agustus. Mereka melarikan diri dari sebuah serangan kontra-teror yang brutal oleh militer Myanmar setelah sebuah serangan gerilyawan terhadap pasukan keamanan negara. Banyak pengungsi menceritakan kekejaman termasuk pembunuhan di luar hukum, pemerkosaan dan pembakaran rumah dan desa.

Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, Zeid Ra'ad Al-Hussein mengatakan, kekerasan tersebut menyerupai "contoh teksbook tentang pembersihan etnis dan dia tidak dapat mengesampingkan unsur genosida. Pada bulan November, Menteri Luar Negeri AS Rex Tillerson mengatakan bahwa kekerasan terhadap Rohingya merupakan pembersihan etnis, menambahkan bahwa tidak ada provokasi yang bisa membenarkan kekejaman yang menghebohkan yang telah terjadi.

Namun militer Myanmar mengatakan operasi keamanan di Rakhine adalah kampanye kontra-pemberontakan yang sah.

Sementara itu, pemerintah Myanmar dan Bangladesh telah sepakat untuk mulai memulangkan ratusan ribu pengungsi Rohingya selama dua tahun ke depan. Namun, kelompok hak asasi manusia memperingatkan bahwa proses tersebut dimulai dengan terlalu cepat, dan tanpa masukan memadai dari badan-badan PBB berisiko memaksa pengungsi untuk kembali melawan kemauan mereka atau menghadapi kekerasan lebih lanjut.

Bangladesh mengatakan bahwa proses tersebut tertunda dari tanggal yang dijadwalkan pada minggu ini, karena para pejabat mencoba untuk memverifikasi daftar orang-orang di kamp pengungsi Bangladesh yang memenuhi syarat untuk dikembalikan. Beberapa pengungsi telah mengeluarkan tuntutan seperti status kewarganegaraan, pertanggungjawaban dan pengembalian harta yang hilang sebelum menyetujui untuk kembali.

Lembaga pengungsi PBB, UNHCR, yang belum terlibat dalam diskusi pemulangan, juga memperingatkan bahwa kondisi pengembalian tidak sesuai.

"Pengamanan yang diperlukan untuk calon pengungsi yang kembali tidak ada," juru bicara UNHCR Adrian Edwards mengatakan pada sebuah konferensi pers pada hari Selasa kemarin. 

"Untuk memastikan hak pengungsi untuk kembali dengan sukarela, dan dengan aman serta bermartabat, kami menghubungi lagi Myanmar untuk mengizinkan akses kemanusiaan tanpa hambatan yang diperlukan di Negara Bagian Rakhine dan menciptakan kondisi untuk solusi yang asli dan abadi," ujarnya. (Wan)

 

Sumber: Sindonews.com

Terkini

Terpopuler