Kisah Istana Kerajaan Gungung Sahilan Kampar Kiri

Senin, 18 Februari 2013 | 04:03:00 WIB
Istana Gunung Sahilan Masih Kokoh. FOTO: Rio

KAMPAR (RA) - Istana Kerajaan Gunung Sahilan yang terletak di Kecamatan Gunung Sahilan di Kampar Kiri, Kabupaten Kampar merupakan peninggalan Kerajaan Gunung Sahilan. Untuk sampai ke Istana Gunung Sahilan dari Pekanbaru hanya membutuhkan waktu satu jam saja.

Bangunan Istana Gunung Sahilan semua dindingnya terbuat dari kayu. Sebuah istana kerajaan yang menjadi salah satu kebanggaan masyarakat Kampar dan Riau. Karena memang bangunan Istana ini merupakan salah satu peninggalan sejarah dari kejayaan masyarakat Kampar Kiri.

Sebelum ajaran Islam masuk, kerajaan ini berpusat di daerah Gunung Kibul yang masih dalam wilayah daerah Kampar Kiri. Kerajaan ini diberi nama Kerajaan Darussalam. Desain dan interior istana dikerjakan oleh arsitek asal Brunei Darussalam.

Di bagian dalam istana tidak jauh beda indahnya dengan tampak dari luar. Design interiornya menggambarkan kemegahan istana ini di masa lalu. Tempat tidur raja yang terbuat dari besi, tombak kerajaan, keramik, lemari pakain kerajaan, dan lainnya.

Istana Gunung Sahilan tidak hanya memiliki keindahan bangunan yang bernuansa melayu yang kental, namun hawa magic juga hanya terasa kental. Menurut salah seorang masyarakat yang tinggal di sekitar istana mengatakan, bahwa masih banyak peningggalan sejarah yang berada di dalan Istana.

“Di dalam istana ini tersimpan sebuah payung kerajaan dan apabila dibuka maka daerah Gunung Sahilan ini akan turun hujan. Juga sebuah guci yang pada musim kemarau akan terisi penuh tapi kalau musim hujan gucinya kosong,” katanya.

Daerah bekas Ibukota kerajaan Darussalam ini terdapat tujuh suku yang bermukim di sini. Yaitu Suku Domo, Suku Mandailing, Suku Petopang, Suku Piliang, Suku Melayu Koto, Suku Caniago, dan Suku Melayu. Keluarga istana pada umumnya berasal dari Suku Piliang.

Istana tidak hanya berfungsi pada masanya saja, hingga kini istana yang berada di Dusun Koto Dalam Desa Gunung Sahilan ini masih tetap dipergunakan untuk musyawarah adat, atau pesta rakyat. Seluruh pemuka masyarakat dari tujuh suku hadir di sini.

Pada mulanya, Gunung Sahilan bernama Gunung Ibul. Letak perkampungannya berjarak satu kilometer dari kampung sekarang ini. Di kawasan Gunung Ibul itu, masih terdapat beberapa bekas situs sejarah yang juga tidak terawat dan nyaris hilang sejak perkebunan kelapa sawit menjamur di sepanjang Sungai Kampar. Di masa Gunung Ibul, atau Kerajaan Gunung Sahilan, masyarakat masih beragama Budha, dibuktikan dengan bekas-bekas kandang babi dan tapak-tapak benteng.

“Cerita soal Kerajaan Gunung Ibul memang tidak memiliki bukti kuat seperti kerajaan Gunung Sahilan sekarang. Sebab kami mendapatkannya dari cerita secara turun-temurun tapi kami percaya karena memang bukti-buktinya masih ada,” ungkap Tengku Rahmad Ali yang tinggal di sisi kanan, luar pagar komplek istana.

Diakui keduanya, cerita tentang Gunung Ibul hanya sedikit sekali sehingga mereka terus berupaya untuk mencari lebih dalam lagi untuk bisa disambungkan dengan Kerajaan Gunung Sahilan. Baik Tengku Rahmad Ali, Utama Warman dan Tengku Arifin bin Tengku Sulung memulai kisah awal kerajaan Gunung Sahilan karena terjadinya keributan antar orang sekampung. Tidak jelas sebab musabab terjadinya keributan itu, yang pasti keributan mereda setelah tetua adat dan para khalifah bersepakat untuk mencari seseorang untuk di-raja-kan di Gunung Sahilan.

Pilihan mereka jatuh kepada Kerajaan Pagaruyung yang saat itu dalam masa keemasannya. Namun perlu diingat, kata mereka, bahwa sebelum kerajaan jilid II terbentuk, masyarakatnya sudah heterogen atau gabungan dari beberapa pendatang, baik dari Johor Baharu (Malaysia) dan orang-orang sekitar negeri seperti Riau Pesisir, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi dan sebagainya. Penduduk asli kampung bersuku Domo, sedang enam suku lainnya merupakan pendatang yang beranak-pinak di sana. Meski harus diakui, masih banyak versi lain mengenai sejarah kerajaan tersebut dengan perbedaan-perbedaan yang tidak terlalu jauh.

Liputan Khusus: Rio Agusri, Kampar
Editor: Riki

Terkini

Terpopuler