Ketika Senjata Kimia Tak Lagi Tabu

Jumat, 30 September 2016 | 11:18:56 WIB
ilustrasi
RAGAM (RA) - Rezim Suriah tampaknya sudah tak malu lagi menggunakan senjata kimia untuk melancarkan serangan di kota-kota yang dikuasai gerilyawan. Sejumlah pengamat khawatir, tren ini membuat senjata kimia tidak lagi tabu digunakan dalam perang, apalagi rezim Bashar al-Assad tak pernah mendapatkan hukuman atas tindakannya, melainkan hanya sebatas kecaman.
 
“Mengerikan, 100 tahun sejak Perang Dunia I, pemerintah (Suriah) masih menggunakan senjata kimia, dan lebih mengerikan lagi mereka lolos (dari hukuman),” kata Ole Solvang, wakil direktur Human Rights Watch (HRW).
 
Berbagai jenis senjata kimia, mulai dari sarin hingga klorin, pernah digunakan dalam perang Suriah.
 
Yang paling mematikan terjadi di Ghouta pada 21 Agustus 2013. Saat itu, rezim Suriah menembakkan roket mengandung sarin dan menyebabkan sekitar 281 sampai 1.279 orang tewas. Serangan tersebut merupakan serangan senjata kimia paling mematikan sejak Perang Iran-Irak.
 
Terus Berlanjut Setelah Resolusi PBB
 
Menurut laporan Masyarakat Medis Suriah-Amerika (SAMS), terdapat 161 serangan kimia di Suriah sejak perang dimulai hingga 2015, sebagian besar menggunakan klorin. Laporan itu menyebutkan, 77 persen serangan kimia di Suriah justru terjadi setelah Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi pada 2013 untuk menghancurkan gudang senjata kimia milik rezim Assad menyusul serangan di Ghouta.
 
“Penggunaan bahan kimia tanpa akuntabilitas sudah menjadi hal biasa di Suriah. Ini preseden yang sangat berbahaya,” kata Zaher Sahloul, dokter berkebangsaan Amerika-Suriah yang secara rutin menjadi relawan di Aleppo.
 
“Sejak resolusi Dewan Keamanan PBB memberi mandat untuk menghancurkan stok senjata kimia di Suriah, ada lebih dari 70 serangan kimia yang dilakukan rezim Suriah, tapi kali ini menggunakan gas klorin.”
 
Menurut catatan SAMS, hampir 1.500 warga sipil tewas dalam serangan kimia di Suriah antara Desember 2012 dan Oktober 2015. Sebagian besar serangan dilakukan di Ghouta Timur, pinggiran Damaskus.
 
Sarin
 
Sarin dan klorin merupakan dua senjata kimia yang paling sering digunakan oleh rezim Suriah. Namun, penggunaan sarin dihentikan sejak masyarakat internasional memusnahkan stok senjata kimia mereka.
 
Sarin merupakan senjata kimia buatan manusia yang diklasifikasikan sebagai agen saraf. Agen saraf merupakan senjata paling beracun. Sarin mirip dengan jenis insektisida (pembunuh serangga) yang disebut organofosfat dalam hal cara kerja dan efek bahaya yang diciptakannya.
 
Agen saraf jauh lebih kuat dari pestisida organofosfat dan diklasifikasikan sebagai senjata pemusnah massal.
 
Sarin, yang juga dikenal sebagai GB, awalnya dikembangkan oleh Jerman sekitar tahun 1938 sebagai pestisida. Dalam bentuk murninya, sarin merupakan cairan bening, tak berwarna dan tak memiliki rasa juga tidak berbau serta dapat menguap dan bersatu dengan udara yang dihirup makhluk hidup.
 
Sifatnya yang tidak memiliki bau membuat sarin semakin berbahaya karena tak ada satu orang pun yang mengetahui kapan ia terpapar.
 
Gejala awal paparan agen saraf seperti sarin adalah pilek, sesak dada, dan penyempitan biji mata. Setelah itu, korban akan merasa kesulitan bernapas dan mengalami mual serta mengeluarkan busa dari mulut. Lama tak ditangani, korban akan kehilangan kontrol terhadap dirinya hingga menyebabkan buang air kecil dan besar dengan sendirinya serta mengalami rasa sakit di daerah pencernaan lalu muntah-muntah. Mereka juga akan merasakan sensasi seperti terbakar di bagian mata dan paru-paru, sebelum akhirnya tewas.
 
Meski selamat, efek agen saraf dapat bertahan lama dan korban dapat menderita kerusakan saraf kronis.
 
Klorin
 
Gas klorin, yang juga dikenal bertholite, pertama kali digunakan sebagai senjata dalam Perang Dunia I oleh Jerman pada 22 April 1915. Senjata ini dipelopori oleh ilmuwan Jerman, Fritz Haber, yang dianugrahi hadiah Nobel meski mendapat julukan sebagai “Bapak Perang Kimia”.
 
Pengawas senjata kimia global, Organisasi untuk Pelarangan Senjata Kimia, yakin gas klorin digunakan sebagai senjata oleh rezim Assad dalam beberapa serangan.
 
Menurut ahli fisika dan advokat HAM, pemerintah Suriah menggunakan klorin hanya untuk menebar teror, bukan mesin pembunuh.
 
Orang yang terpapar gas klorin mula-mula akan menderita gejala batuk-batuk, kekurangan oxigen, kulit gatal dan gangguan pernapasan.
 
“(Klorin), meski secara militer tidak terlalu efisien untuk melakukan perang, sangat efektif dalam menebar teror. Ini juga merupakan senjata yang sangat berguna jika Anda tak ingin terlacak,” kata Jerry Smith, direktur konsultan keamanan RameHead International dan mantan inspektur senjata kimia PBB di Suriah.
 
“Ini bermanfaat bagi mereka untuk terus meneror dan membuat kehidupan orang-orang yang tinggal di wilayah yang tidak mereka kuasai semenderita mungkin,” tambah Neil Sammonds, peneliti Amnesti Internasional.
 
Namun pada faktanya, gas klorin dilaporkan membunuh ribuan orang dalam Battle of Ypres pada Perang Dunia I. Klorin dapat mematikan karena “larut dalam paru-paru ketika Anda menghirupnya, dan itulah bagaimana anak-anak biasanya meninggal”, kata dr. Annie Sparrow, asisten profesor di Sekolah Kedokteran Icahn di Rumah Sakit Mount Sinai New York.
 
Kengerian yang diciptakan gas klorin lah yang menyebabkan dunia internasional berupaya melarang pengguaan kimia sebagai senjata secara umum. Klorin masih boleh digunakan untuk keperluan industri, tapi penggunaannya sebagai senjata dilarang sejak 1993 di bawah Konvensi Senjata Kimia.
 
“Ini merupakan senjata yang mengerikan,” kata Solvang. “Ini menimbulkan ketakutan di tengah penduduk sipil karena tidak seperti senjata peledak, yang meledak dan Anda tahu apakah Anda terluka atau tidak, dan ketika selesai Anda dapat melanjutkan kehidupan Anda. Bom barel berisi klorin memberikan dampak, tapi Anda tak mengetahuinya, di mana itu terjadi? Atau apakah Anda terpapar?” 
 
Senjata Kimia Tak Lagi Tabu
 
Alih-alih menghentikan penggunaan senjata kimia di Suriah, resolusi DK PBB pada 2013 hanya memicu pergeseran jenis bahan kimia yang digunakan. Operasi dunia internasional hanya memusnahkan senjata kimia seperti sarin, XV, sulfur mustard (bahan gas mustard) seberat 1.290 metrik ton yang semuanya dilarang hukum internasional. Sementara keberadaan klorin dipertahankan.
 
Hasilnya, rezim Suriah melakukan pendekatan berbeda dalam perang senjata kimia, yakni dengan mengemas klorin dalam bom barel atau kaleng dan menjatuhkannya dari helikopter, seperti di kota Saraqeb, Provinsi Idlib.
 
Meski sebagian besar serangan senjata kimia terbaru dilakukan dalam skala kecil, jumlah warga sipil dan aktivis yang tewas atau cacat meningkat. Dan, para ahli prihatin penggunaan senjata kimia tidak lagi se-mengejutkan beberapa tahun lalu.
 
“Ada risiko yang sangat besar dari normalisasi (penggunaan senjata kimia),” kata Richard Guthrie, ahli senjata kimia Inggris, the Guardian melaporkan, seraya mengingatkan akan dampak lebih luas terkait penggunaan racun sebagai senjata di Suriah secara terus-menerus.
 
“Dalam beberapa dekade terakhir, senjata kimia dideligitimasi sebagai tolak ukur kekuatan secara perlahan. Laporan berulangkali tentang penggunaan senjata menjijikkan ini sangat mengkhawatirkan. Dugaan terbaru penggunaannya berkontribusi atas berkurangnya ketabuan (senjata kimia) sedikit demi sedikit, tapi pasti,” tambahnya.
 
“Jika halangan terbesar memproduksi senjata kimia lalu menggunakannya adalah karena takut digulingkan oleh kekuatan internal maupun eksternal atau tertangkap masyarakat internasional hingga diseret ke pengadilan, maka kasus Suriah sama sekali tidak menggambarkan hal itu.” (rimanews.com)

Terkini

Terpopuler