Kenapa Tertawa Bisa Menular? Ternyata Ada Hubungannya dengan Evolusi

Ahad, 05 Oktober 2025 | 06:38:12 WIB
Ilustrasi tertawa.

RIAUAKTUAL (RA) - Kamu pernah nonton video orang sedang tertawa, terus ketawanya nular, bahkan bikin ikutan ngakak? Padahal kita enggak tau apa yang ditertawakan. Kalau dipikir-pikir, kenapa ketawa bisa menular ya?

“Apakah tawa menular? Sebenarnya, semua emosi itu menular,” kata Dr Sandi Mann, psikolog dari British Psychological Society, mengutip IFLScience.

“Kita memang dirancang untuk menangkap emosi orang lain.”

Itu bagian dari evolusi kita, dan ternyata juga dimiliki mamalia lain. Simpanse, kerabat terdekat manusia, misalnya, bisa tertawa dengan cara yang mirip sekali dengan kita.

Bahkan penelitian terbaru menunjukkan bahwa mereka juga punya selera humor dan suka menggoda satu sama lain.

Sebuah tinjauan ilmiah tahun 2021 menemukan setidaknya 65 spesies hewan menunjukkan suara bermain mirip manusia ketika sedang bersenang-senang, kebanyakan mamalia, tapi ada juga beberapa burung.

Tawa begitu mendasar dalam hidup manusia hingga melampaui bahasa dan budaya. Sampai sekarang, belum ada satu pun komunitas manusia di Bumi yang tidak mengenal tawa.

Salah satu alasan mengapa tawa cepat menular adalah karena emosi yang dibagi bersama memperkuat ikatan sosial. Profesor psikologi evolusi dari University of Oxford, Robin Dunbar, menjelaskan pada masa awal manusia butuh memperbesar kelompok sosialnya, tawa digunakan untuk menggantikan peran “grooming”, aktivitas merawat sesama, seperti monyet mencari kutu.

Baik grooming maupun tawa sama-sama memicu pelepasan endorfin di otak. Endorfin ini meredakan sakit dan membuat kita merasa nyaman. Bedanya, tawa jauh lebih efisien, tidak butuh kedekatan fisik, tidak makan waktu lama, tapi efeknya sama.

Selain itu, endorfin dari tawa membantu kita melepas stres. Dalam situasi tegang, sedikit humor bisa mencairkan suasana sekaligus menguatkan kebersamaan.

Tak heran kalau ada istilah gallows humor alias humor getir yang dipakai orang-orang sebagai cara bertahan. Petugas medis, polisi, hingga pemadam kebakaran kerap mengandalkan humor untuk menghadapi tekanan pekerjaan. Bahkan dalam sejarah kelam, seperti kisah para penyintas Holocaust, humor tercatat membantu mereka menjaga semangat hidup.

Dalam dunia medis, bukan cuma tenaga kesehatan, pasien pun bisa merasakan manfaat tawa. Sebuah studi di ruang gawat darurat Australia menemukan tawa cukup sering muncul dalam interaksi pasien dengan tenaga medis.

Ada pasien bernama Janet yang dalam 6,5 jam perawatannya tertawa 38 kali. Saat ia melontarkan lelucon, dokter yang menanganinya kurang merespons sehingga terasa agak canggung. Namun ketika seorang perawat ikut tertawa bersamanya, suasana jadi cair. Tawa itu bukan hanya membantu Janet melupakan prosedur medis yang tidak nyaman, tapi juga mengurangi kecemasan sebagai pasien.

Jenis tawa manusia ternyata berlapis-lapis. Kadang muncul spontan karena sesuatu yang konyol, kadang karena hal-hal yang tidak nyambung. Ada juga yang muncul di momen salah, misalnya setelah menerima kabar buruk, meski itu sebenarnya cara tubuh kita meredakan stres.

Kita juga sering tertawa karena menertawakan diri sendiri, atau schadenfreude alias merasa lucu saat melihat orang lain kena sial. Fenomena ini begitu universal hingga dijadikan lagu khusus dalam musikal Avenue Q.

Tak hanya hiburan, humor juga bisa jadi modal sosial. Lelucon yang tepat bisa mencairkan suasana wawancara kerja, membuat kencan lebih menyenangkan, atau mempererat hubungan.

Psikolog semakin sadar bahwa studi tentang humor bisa membuka wawasan soal karakter manusia. Menurut Dunbar, percakapan tanpa tawa cepat terasa melelahkan. Jadi, tawa memang menular. Bedanya dengan penyakit, ini satu-satunya infeksi yang justru sehat untuk disebarkan.

Terkini

Terpopuler