PEKANBARU (RA) - Ibrahim Tarmizi (55), warga Desa Simpang Gaung, Kecamatan Gaung, Indragiri Hilir, Riau, masih mengingat betul bagaimana hidupnya berubah ketika sang istri, Murni, divonis gagal ginjal akibat komplikasi diabetes.
Tarmizi lupa kapan persisnya kabar buruk itu datang. Namun, ia ingat jelas betapa paniknya situasi ketika sang istri tiba-tiba tumbang pada malam hari, setelah sempat berkumpul dengan tetangga dan menyantap berbagai makanan seperti mangga muda, jambu air, hingga durian.
Malam itu, Murni mengalami sesak napas dan tak sadarkan diri. Dokter dari Puskesmas setempat menyatakan tekanan darahnya melonjak drastis, denyut nadinya melemah, dan paru-parunya penuh cairan.
Keesokan paginya, Ibrahim bergegas membawa Murni ke RSUD Puri Husada, Tembilahan, dengan speedboat. Perjalanan itu memakan waktu lebih dari dua jam.
Setibanya di rumah sakit, Murni langsung didiagnosis gagal ginjal dan harus menjalani cuci darah (hemodialisis/HD) secara rutin.
"Ibu ada BPJS, Pak? Kalau ada pastikan aktif, ya. Untuk HD dan rawat inap, semua ditanggung BPJS," ujar petugas rumah sakit saat itu.
Bagi Ibrahim, kalimat itu seperti kelegaan di tengah badai. Sebagai pensiunan guru MTs swasta yang kini bekerja sebagai tukang kayu serabutan, ia tak punya tabungan.
"Waktu itu, uang saya tinggal kurang dari Rp50.000, setelah bayar ongkos. Sisanya hanya cukup untuk bertahan di rumah sakit," tuturnya saat berbincang di pertengahan Juli lalu.
Sejak divonis gagal ginjal, Murni harus cuci darah dua kali seminggu. Agar tak bolak-balik dari kampung ke rumah sakit, mereka pun mengontrak rumah sederhana di kota.
Setelah lebih dari tiga tahun menjalani terapi, Murni mengembuskan napas terakhir pada Juni 2023 di usia 50 tahun.
"Selama itu, kami bertahan hanya dengan bantuan anak-anak. Kalau bukan karena BPJS Kesehatan, saya tak tahu bagaimana nasib istri saya saat itu," ujarnya.
Kisah serupa juga dialami Pedrianto Umar, warga Teluk Kuantan, Kabupaten Kuantan Singingi. Ia didiagnosis mengalami kerusakan ginjal hingga 90% akibat batu ginjal pada 2019.
Pedri menjalani delapan kali operasi, mulai dari dua kali operasi besar, dua kali sedang, dan empat kali operasi kecil.
"Kalau pakai biaya mandiri, totalnya hampir Rp300 juta. Untung semua ditanggung BPJS," katanya.
Saat ini, ia menjalani cuci darah tiga kali seminggu dengan biaya sekitar Rp1,8 juta per sesi, seluruhnya ditanggung BPJS Kesehatan.
Awalnya, Pedri merupakan peserta mandiri. Namun, karena kondisi ekonomi memburuk, ia dibantu untuk menjadi peserta PBI (Penerima Bantuan Iuran).
"Saya dulu sempat anggap bayar iuran BPJS itu sia-sia. Tapi sejak sakit, saya sadar itu semacam tabungan darurat," ujar ayah dua anak itu.
Berdasarkan data Indonesian Renal Registry 2020, terdapat 198.575 pasien hemodialisis di Indonesia, dengan 2,75 juta sesi cuci darah dalam setahun.
Di Provinsi Riau, sekitar 25,57% pasien gagal ginjal kronis harus menjalani HD, dan jumlah kunjungan hemodialisis di RSUD Arifin Achmad meningkat dari 1.101 pada 2022 menjadi 1.669 pada 2023.
STIFAR Riau mencatat, lebih dari 17.000 warga di Riau menderita gagal ginjal kronis, dan mayoritasnya menggunakan layanan BPJS Kesehatan.
Akademisi Universitas Hang Tuah Pekanbaru, Assoc. Prof. Dr. Reno Rinaldi, M.K.S., M.Kes, menilai BPJS Kesehatan bukan hanya menyelamatkan nyawa, tapi juga meringankan beban ekonomi keluarga, khususnya pasien penyakit kronis seperti ginjal, jantung, dan kanker.
"Sekaya apapun orang, kalau pengobatan mahal dan harus rutin, BPJS tetap sangat membantu. Ini bukan lagi soal miskin atau tidak, tapi soal perlindungan kesehatan jangka panjang," tuturnya, Minggi (3/8/2025).
Namun, Reno menyoroti masih rendahnya edukasi tentang penggunaan BPJS di daerah terpencil.
"Banyak yang baru sadar pentingnya BPJS saat sakit. Bahkan, sebagian masyarakat belum paham prosedur penggunaannya," katanya.
Reno mengusulkan lima langkah perbaikan, peningkatan edukasi, digitalisasi layanan, pemangkasan birokrasi, perluasan kerja sama dengan fasilitas kesehatan, serta pengawasan layanan.
BPJS Kesehatan menanggung penuh biaya cuci darah bagi pasien dengan rekomendasi medis dari dokter spesialis.
Kepala Penjaminan Manfaat dan Utilisasi BPJS Kesehatan Cabang Pekanbaru, Delilla Melati, menjelaskan bahwa pasien hemodialisa tak perlu lagi memperbarui rujukan setiap 90 hari.
"Begitu pasien divonis harus HD seumur hidup, rujukan bisa diperbarui secara internal oleh rumah sakit," ujarnya.
Bahkan kini tersedia layanan HD lintas kota, bagi peserta yang ingin cuci darah di luar domisili. Cukup bawa surat pengantar dokter, peserta bisa HD di rumah sakit tujuan.
Saat ini terdapat sekitar 20 pusat layanan HD di Kota Pekanbaru. Seluruh fasilitas itu telah terakreditasi Kemenkes dan memiliki dokter spesialis kompeten.
"Validasi peserta makin mudah. Cukup pakai KTP, sidik jari, atau face recognition. Selama prosedurnya sesuai, semua biaya akan ditanggung BPJS," tutup Delilla.