Corrupt Amnesty, Solusi Radikal Legal Memutus Budaya Tikus Indonesia

Selasa, 22 April 2025 | 14:11:33 WIB
Dilly Wibowo, S.T. Mahasiswa Hukum Universitas Lancang Kuning Pekanbaru-Riau.

PEKANBARU (RA) – Presiden Prabowo sempat mengemukakan ide yang banyak mendapat sorotan dari masyarakat dan media, yakni kemungkinan memberikan pengampunan kepada para koruptor yang bertobat, mengaku, dan mengembalikan harta negara yang telah mereka korupsi. Hal ini disampaikannya dalam salah satu pidato sebagai kepala negara.

Pernyataan tersebut menggugah penulis, sebagai mahasiswa dan pengamat hukum, untuk menafsirkan ide tersirat dari pidato itu secara serius. Jika wacana tersebut memang akan diterapkan, maka penerapannya perlu diatur agar tidak melanggar hukum administrasi negara dan hak asasi manusia, mengingat sulitnya menghentikan budaya korupsi di Indonesia.

Jika dibandingkan dengan upaya presiden sebelumnya yang menggenjot penerimaan negara melalui tax amnesty, yang menurut banyak pengamat ekonomi dinilai gagal dalam menjaring pengemplang pajak kelas kakap, maka corrupt amnesty atau pengampunan koruptor dapat menjadi langkah nyata Presiden terpilih.

Penulis meyakini bahwa langkah ini justru bisa lebih efektif menyelamatkan keuangan negara, baik dari kerugian masa lalu maupun dari potensi kebocoran dan pungutan liar (pungli) yang menjadi budaya “tikus” di negara yang menjadi runner-up terkorup di dunia.

Hukuman mati dan RUU Perampasan Aset (RUUPA) adalah dua instrumen hukum yang semestinya menjadi senjata andalan Presiden, terlebih dengan telah terbentuknya koalisi Merah Putih. Tidak ada alasan lagi bagi DPR untuk menghalangi pengesahan RUUPA menjadi undang-undang.

Bahkan penulis yakin, partai oposisi seperti PDIP pun tidak akan berani menentangnya, mengingat Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, mantan Presiden ke-5 RI adalah sosok yang membidani lahirnya KPK.

Presiden Prabowo memiliki dasar kuat untuk menekan para ketua partai dalam Koalisi Merah Putih agar segera mengesahkan RUUPA dan mengambil tindakan tegas terhadap partai yang berkhianat.

Hal ini tidak bertentangan dengan konstitusi yang menganut asas trias politika, sebab Presiden tidak dapat mengesahkan undang-undang secara sepihak. Namun, Presiden memiliki kewenangan untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) dalam kondisi darurat.

Setelah RUUPA disahkan, maka penerapan hukuman mati dan perampasan aset terhadap koruptor akan memiliki dasar hukum yang kuat, bebas dari kecaman aktivis HAM dan LSM/NGO asing (jika memang ada) yang selama ini kerap dituduh dibekingi koruptor. Koruptor kelas kakap layak dijatuhi hukuman mati dan dimiskinkan secara paksa.

Lalu, bagaimana dengan koruptor kelas teri dan pelaku pungli di tingkat RT/RW hingga ASN/TNI/Polri yang luput dari ancaman hukuman mati dan perampasan aset?

Pemerintah sebaiknya mempertimbangkan sanksi yang memberi efek jera dan rasa takut, dengan mengacu pada sumber hukum Islam, yakni Al-Qur’an, yang secara eksplisit menyebut hukuman potong tangan bagi pencuri yang terbukti bersalah.

Hal ini dapat dijadikan inspirasi dalam menyusun RUU Potong Tangan (RUU PT), yang akan disahkan bersamaan dengan RUUPA. Jika disahkan, UU ini akan menjadi senjata ketiga Presiden Prabowo dalam memerangi korupsi.

Meski terdengar sadis dan bertentangan dengan HAM, faktanya para pencuri uang rakyat adalah pelaku kejahatan yang keji, yang menghancurkan ekonomi rakyat dan melanggar HAM warga negara atas hak-hak hidup yang layak. Kesadisan seperti apa lagi yang melebihi tindakan aparat dan ASN yang memeras rakyat dengan dalih hukum?

RUUPT dapat merinci jenis hukuman sesuai dengan nilai uang yang dikorupsi. Misalnya, korupsi senilai Rp100 ribu hingga Rp1 juta dikenai hukuman pemotongan satu ruas jari kelingking tangan kiri. Bertahap hingga pemotongan lengan penuh bagi korupsi senilai Rp50–100 miliar.

Bila pelaku mengulangi perbuatannya, tangan kanan yang akan dijatuhi hukuman. Perancangan teknis undang-undang ini tentu akan melibatkan ahli hukum dan ulama yang ditunjuk oleh pemerintah dan dipimpin langsung oleh Presiden.

Setelah disahkan, UU ini akan sah secara konstitusional dan tidak dapat dikritik sebagai pelanggaran HAM, karena justru pemberian hukuman tanpa dasar undang-undang itulah yang sejatinya melanggar hukum dan HAM di negara hukum (rechtstaat).

Pemerintah perlu memberi masa tenggang selama tiga tahun sebelum memberlakukan UU PT. Masa inilah yang dapat digunakan Presiden Prabowo untuk melaksanakan program corrupt amnesty. Dengan teknis pelaksanaan yang efisien, negara dapat menghimpun pengakuan dan pengembalian harta dari para koruptor, dari kelas kakap hingga kelas teri.

Agar tidak mengulangi kegagalan tax amnesty, Presiden harus tegas terhadap para oligarki, konglomerat, pengusaha besar, pejabat negara, bahkan kepada anggota kabinet dan DPR. Bahkan mantan presiden pun tak boleh lepas dari program ini. Jika Presiden Prabowo sendiri pernah melakukan pelanggaran hukum di masa lalu, ia pun harus menjadi orang pertama yang memberikan contoh.

Demi menyelamatkan harga diri bangsa dan memulihkan kepercayaan investor asing, maka penulis meyakini rakyat Indonesia akan mendukung pemberian imunitas khusus kepada Presiden, selama ia menetapkan status Darurat Militer Anti Korupsi demi penyelamatan bangsa. Presiden bahkan bisa saja mencatat sejarah sebagai penyelamat bangsa penerus Soekarno, apabila ia berani menjadi peserta pertama program corrupt amnesty jika memang pernah bersalah.

Satuan Tugas Anti-Korupsi dapat dibentuk dari unsur militer yang telah dilatih secara rahasia untuk mengawal proses pelaksanaan corrupt amnesty dan mencegah intervensi pihak berkepentingan. Presiden juga perlu menerbitkan red notice, daftar cekal, dan membekukan paspor para tersangka koruptor, termasuk pejabat dan mantan presiden. Pengawasan ketat militer di perbatasan mutlak diperlukan untuk mencegah pelarian.

Setelah masa corrupt amnesty berakhir, dan UU Potong Tangan serta RUUPA mulai diberlakukan, maka satu-satunya pilihan bagi para koruptor untuk menyelamatkan diri adalah dengan mengakui kesalahan dan mengembalikan harta negara. Jika program ini berhasil, Indonesia akan lepas dari jeratan utang, mampu menyediakan pendidikan gratis, dan membangun sistem hukum yang bersih.

Namun, pertanyaan besar tetap mengemuka, Apakah TNI akan tetap berpihak kepada rakyat dan tidak mengulang sejarah kelam Dwifungsi ABRI?

Di sinilah kenegarawanan Presiden Prabowo diuji. Satu-satunya kudeta militer yang dilakukan oleh Presidennya sendiri, namun atas dukungan rakyat yang sudah muak dengan kondisi bangsa. Bahkan, rakyat mungkin akan mendorong Presiden menjadi pemimpin seumur hidup secara konstitusional, demi tuntasnya pemberantasan korupsi, sambil mempersiapkan penggantinya yang bersih.

Masihkah Pak Prabowo ragu?
Rakyat menunggumu untuk berani—sebelum rakyat yang bergerak sendiri.

 

Tulisan opini ini ditulis:
Dilly Wibowo, S.T.
Mahasiswa Hukum Universitas Lancang Kuning Pekanbaru-Riau
Paralegal Lembaga Hukum Indonesia, dan Pemerhati Hukum di Indonesia.

Tags

Terkini

Terpopuler