PELALAWAN (RA) - Setelah melalui proses hukum yang panjang, dua terdakwa kasus dugaan korupsi Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) di Kabupaten Pelalawan, Parsana dan Sanely Mandasary, akhirnya dinyatakan bebas.
Pada sidang putusan yang digelar Senin (23/12/2024) kemarin, majelis hakim menyatakan keduanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah atas dakwaan yang diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Parsana, mantan Kepala Desa Bagan Limau, dan Sanely Mandasary, Sekretaris Panitia Kepengurusan PTSL, sebelumnya didakwa melakukan tindak pidana korupsi dalam program sertifikasi tanah tersebut.
JPU menuntut keduanya dengan hukuman lima tahun penjara berdasarkan Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah diubah melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Namun, dalam pembacaan putusan, majelis hakim menyatakan bahwa Parsana dan Sanely tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana yang didakwakan.
"Majelis hakim memutuskan membebaskan terdakwa dari segala dakwaan, serta memulihkan hak dan martabat mereka," ujar ketua majelis hakim.
Keberhasilan ini tidak lepas dari peran kuasa hukum yang diketuai oleh Ilhamdi, SH., MH, bersama timnya, Dedy Saputra, SH., MH, Alfikri, SH., MH, dan Defani Lisaura Rahmadani, SH., MH, dari Kantor Hukum Ilhamdi and Partners.
Dalam pernyataannya, Ilhamdi mengungkapkan rasa syukur dan harunya terhadap keputusan ini.
"Kami benar-benar mendapatkan keadilan dari tangan hakim yang adil dan bijaksana. Saya meneteskan air mata saat mendengar putusan ini. Ini adalah bukti nyata pertolongan Tuhan. Saya tahu betul bagaimana perjuangan klien kami untuk memajukan desanya," kata Ilhamdi.
Ilhamdi, SH., MH.
Dekan Universitas Hang Tuah Pekanbaru ini juga menjelaskan bahwa Parsana sebagai kepala desa saat itu berusaha keras agar masyarakat Desa Bagan Limau dapat memiliki sertifikat tanah melalui program PTSL. Desa tersebut terletak di daerah yang sulit diakses, dan sebagian wilayahnya bahkan masuk kawasan hutan.
"Pak Parsana mengorbankan harta dan tenaganya, bolak-balik ke dinas terkait hingga ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk memastikan program ini berjalan. Bahkan sertifikat itu diserahkan langsung oleh Presiden Jokowi, yang pada waktu itu masyarakat pergi ke Desa Sinamanenek, Kabupaten Kampar, untuk menerimanya," tambah Ilhamdi.
Dalam persidangan, terungkap bahwa biaya tambahan yang dikumpulkan masyarakat adalah hasil musyawarah bersama. Tidak ada paksaan dalam pengumpulan dana tersebut, yang digunakan untuk mendukung kelancaran program PTSL, termasuk transportasi dan akomodasi saat pengambilan sertifikat.
"Tidak ada niat jahat atau usaha untuk memperkaya diri sendiri. Semua biaya tambahan ini hasil kesepakatan bersama masyarakat. Mereka sadar bahwa untuk mendapatkan sertifikat melalui program ini memerlukan biaya tambahan di luar ketentuan pemerintah," ungkap Ilhamdi.
Ilhamdi menambahkan, masyarakat justru merasa sangat terbantu dengan adanya program ini, yang akhirnya memberikan kepastian hukum atas tanah mereka.
Ilhamdi berharap kasus ini menjadi pelajaran untuk semua pihak agar lebih cermat dalam menangani dugaan tindak pidana korupsi, terutama yang melibatkan program-program pemerintah yang bermanfaat langsung bagi masyarakat.
"Semoga ini menjadi pengingat bahwa hukum harus ditegakkan dengan adil dan bijaksana. Keputusan ini bukan hanya kemenangan bagi klien kami, tetapi juga bagi keadilan itu sendiri," pungkas Ilhamdi.